Sunday, December 24, 2006

Sutardji: Antara Pesan dan Pengungkapan

Sutardji: Antara Pesan dan Pengungkapan
Dari Hasan Aspahani (milis penyair, tgl 8sept 2006)

1. Puisi tentu saja boleh menampilkan suara zamannya, tetapi ia bukan budak zaman. Puisi selalu berdepan-depan dengan zaman. Penyair tidak tercakup atau tertunduk pada sejarah, malah ia mencipta sejarah.

2. Puisi tidak teraih hanya dengan sekadar menghiraukan pesan, isi, dan atau tema. Puisi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya, bila tidak, maka yang dihasilkan adalah puisi yang tidak menghiraukan puisi.

3. Puisi boleh diniatkan kosong dari tema atau tanpa pesan. Puisi yang demikian ini bisa jadi hanya berupa rangkulan akrab terhadap ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata. Tapi jika dibuat padu dan utuh, terkendali, menarik dan cantik serta unik, maka pembaca akan segera sibuk mencarikan pesan atau makna pada sajak itu.

4. Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apapun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil.

5. Puisi boleh dibuat seperti memotret kenyataan. Tapi puisi yang baik bukan potret yang datar. Ada nilai plus yang diharapkan bisa didapat ketika menatap atau membaca puisi potret tadi. Jika tidak maka pembaca tentu lebih suka menatap langsung pada kenyataan.

6. Cara mengungkap atau cara mengucap, adalah salah satu unsur penting mendapatkan nilai plus dalam sebuah sajak.

* Dari Perihal Sajak yang Tak Dimuat dalam buku Sutardji Calzoum Bachri Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.

Monday, December 18, 2006

Menyelidik Diksi

hasan aspahani <hasanaspahani@ yahoo.com>
[Ruang Renung # 169] Menyelidik Si Diksi

MUNGKIN berlebihan kalau dibilang kerja menyair pada intinya adalah mendiksi. Memilih kata yang tepat untuk mengucapkan sesuatu. Tema-tema sajak berulang dari satu penyair ke penyair. Selain menggarap tema-tema baru, bisakah kita menghindar dari tema cinta, maut,rindu, kesepian, ketidakadilan, atau ketuhanan? Bagaimana cara menyajakkan tema itu, itulah yang jadi taruhan keberhasilan sajak kita. Dengan kata lain bagaimana tema itu diucapkan. Dengan kata lain kata apa yang dipakai atau dipilih untuk mengucapkan tema
itu. Dengan kata lain: diksi.

BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tidak punya pilihan yang banyak? Maka, perkayalah diri kira dengan kata, supaya leluasa memilih. Leluasa mendiksi. Tapi, jangan pula kita jadi orang kayakata yang sombong. Mentang-mentang punya banyak kata lalu sok mengumbar kata-kata di sembarang sajak biar dibilang hebat. Apalagi kalau kata-kata itu kita dapat dengan cara yang tidak bajik dan tidak baik. Apalagi kalau kita cuma sok memiliki kata itu padahal kata itu sendiri tak pernah merasa menjadi milik kita.

BUKANLAH itu maunya diksi. Diksi itu memilih. Sebelum kita memilih tentu kita harus akrab dulu dengan apa yang kita pilih. Supaya dia ikhlas dan mendukung niat pengucapan kita. Dengan kata lain mencari kata yang paling pas untuk dipakai pada waktu yang pas.

BAGAIMANA kalau kita mau mengucapkan dengan kata-kata sembarang saja? Kalau pengucapan dengan cara itu dilakukan dengan sadar, artinya memang menjadi pilihan di antara pengucapan-pengucap an lain yang kita punya, itupun diksi juga namanya, asal sembarang kata tadi tetap membuat pengucapan kita sampai juga pada niat sajak kita.

Kredo Sutardji

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Kredo Puisi

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri

Bandung, 30 Maret 1973.

Ikhwal penyair dan Ikhwal Sajak

1 . Ikhwal Penyair

Di dalam dunia yang cenderung tidak memiliki tradisi membaca dan
tidak cukup memahami makna puisi, maka status kepenyairan tidak
mungkin bergantung atau diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan
pandangan pembaca. Otoritas atas kepenyairan ada pada tangan penyair
itu sendiri, yaitu pada keadaan di mana seorang penyair dapat
menggali seluruh potensi yang dimilikinya untuk melahirkan dirinya
sendiri. Karena itu tidaklah mungkin seorang penyair lahir dari
sebuah situasi kekosongan.
Ia hanya mungkin lahir dari sebuah perenungan atau pemikiran yang
sublim. Dan bila pun kemudian ia terpaksa muncul dari sebuah situasi
kekosongan, ia tidak akan mungkin bertahan dalam keadaan sedemikian
rupa itu terus-menerus tanpa ada upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu yang mengungkung dirinya.
Seorang penyair harus mampu memberikan makna bagi dirinya sendiri
dan terutama bagi karya-karyanya, karena ia mengemban amanat besar
untuk mengkomunikasikan realitas psikologis maupun sosiologis dari
dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai
bagian dari masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya, maka seorang
penyair harus mampu membebaskan kata-kata sebagai media utama dari
komunikasi verbal yang hendak ia nyatakan di dalam penulisan karya-
karya sajaknya itu. Baik dari kungkungan penjara ilusi yang berasal
dari luar dirinya sebagai hasil rekayasa kekuasaaan, maupun dari
keterbatasan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya seorang penyair harus
berusaha keras menjaga agar kata-kata di dalam sajak-sajaknya itu
mampu tampil sebagai sebuah bentuk komunikasi timbal balik antara
dirinya sendiri dengan masyarakat yang membaca karya-karyanya.
Sudah menjadi tugas seorang penyair untuk mengatasi keterbatasan
media di dalam penulisan puisinya dan sekaligus keterbatasan media
kata itu sendiri. Sajak harus menemukan pintu keluar dari kemampatan
ini, yaitu dari segenap kecurigaan yang telah merasuki kalangan para
penyair sendiri yang menyatakan bahwa selama ini kata telah mati dan
demikian pula dengan puisi. Penyair harus sampai pada kesadaran baru
untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, bukan lagi
sebatas angan-angan, atau sekedar sebagai mimpi dan ilusi. Karena
ilusi atau mimpi sekalipun bila ia tampil di dalam sajak harus dapat
merepresentasikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang inspiratif dan
memberi nafas serta nuansa yang baru dalam khazanah sastra kita,
yaitu pembaharuan penulisan puisi yang bisa terlihat, terdengar serta
teraba getarannya. Sehingga mimpi itu kemudian dapat tampil sebagai
sebuah gambaran nyata dari realitas kehidupan.
Masuknya budaya visual lewat media elektronik dan grafis tidak
harus menggoyahkan otoritas kata sebagai media komunikasi verbal.
Disinilah sesungguhnya letak tantangan kreativitas yang terbesar yang
menanti para penyair, yaitu pada upaya bagaimana ia dapat menampilkan
puisi-puisi karyanya itu sehingga mampu eksis dan tetap bertahan
hidup di tengah serbuan kekuatan-kekuatan media komunikasi lainnya.
Sudah menjadi tugas utama para penyair untuk memberikan dan
mempertahankan kehidupan dan bukannya tunduk pada kekuatan kematian
atau tekanan kekuasaan manapun yang hendak mengkerdilkan makna dari
puisi itu sendiri.



2. Ikhwal Sajak

Kira-kira apa yang akan terjadi sekiranya kita memberikan nyawa pada
sebongkah batu? Maka batu itu pastilah akan menyerukan ke'diam'annya,
bahkan mungkin ia akan meneriakkan kebekuannya lebih nyaring daripada
apa yang sanggup di dengar oleh indera pendengaran kita. Dan
demikianlah seharusnya sajak menyuarakan dirinya sendiri. Tapi apa
yang sebenarnya telah terjadi pada sajak sejauh ini, dan bagaimana
pandangan orang terhadapnya?
Walau kata sebagai esensi utama dari sebuah sajak telah berhasil
keluar dari penjara kebuntuan leksikon, namun masih saja banyak di
antara kita seakan melupakan bahwa sajak bukanlah sekedar kata. Di
mana-mana terjadi situasi di mana sajak berhenti sebagai rangkaian
kata-kata dan kata berhenti hanya sebagai bunyi. Puisi di dalam sajak
kehilangan daya kekuatan magisnya untuk kembali menyuarakan dirinya
sendiri dengan lantang. Dengan semena-mena manusia memenggal esensi
puisi di dalam sajak, dan menjadikan orok sungsang itu lahir
prematur. Sementara di banyak tempat prosa semakin merajalela, dan
sajak kemudian semakin kehilangan identitasnya. Kini segala sesuatu
harus dibaca bersama massa; dalam konteksnya sebagai sebuah label
hibriditas tanda-tanda yang hampir-hampir tidak memiliki identitas
sama sekali.
Tapi sekali lagi sajak bukanlah sekedar kata, dan bila pun ia
kata ia bukanlah kata sekedar. Puisi bukan pula sekedar bunyi, karena
apalah makna bunyi kalau ia tidak mengekalkan arti? Pada mulanya
memang, puisi harus menjadi dirinya sendiri: sebuah lampu yang
memiliki fungsi untuk membuat segala sesuatu terlihat lebih jelas,
namun di sisi lain ia adalah bagian dari sebuah realitas, yaitu
keberadaannya di dalam ruang dan waktu. Ia hadir sebagai esensi dan
sekaligus sebagai pelengkap, sebagai subyek dan obyek sekaligus. Ia
adalah lampu di meja makan, ia adalah bangku di tengah taman. Dan
sebagai lampu atau bangku ia harus memiliki identitas agar ia
dikenali, karena ia tidak bisa berdiri begitu saja di tengah massa
yang mengacuhkan keberadaannya serupa keberadaan batu itu. Maka
sebagai batu sekalipun ia harus mengungkapkan dirinya. Apalah arti
batu bila hanya untuk disepak atau ditendang orang? Tapi siapa berani
menendang batu nisan di tengah kuburan? Bagaimana pula orang
memperlakukan sebuah batu mulia?
Otoritas kata di dalam sajak harus dikembalikan pada
fleksibilitasnya, yaitu pada kemampuannya untuk menyatakan dirinya
sendiri dalam bentuk apapun yang ia inginkan. Tidak saja secara
verbal di mana kata dapat bertransformasi atau bermetamorfosis sesuai
dengan yang ia kehendaki melainkan juga di dalam wujud visualnya
yaitu di dalam tipografinya, karena tipografi sebagai wadah atau
bentuk dari sebuah sajak berfungsi untuk menyampaikan apa yang
tersurat dari yang tersirat, ia dapat berfungsi sebagai salah satu
pintu menuju pada pengertian. Bahwa sajak tidak harus dijelaskan
melalui media lain selain dirinya sendiri, karena ia telah sanggup
mencukupi dirinya sendiri. Sajak harus dapat mengkomunikasikan
dirinya sendiri dan hadir sepenuhnya dengan identitasnya sendiri yang
mewakili seluruh keberadaan dirinya secara utuh dan konkret.
Dengan demikian maka sajak-sajak akan tampil dengan lebih
komunikatif dan jauh lebih atraktif serta menemukan tempat berpijak
yang kokoh untuk bersaing dengan media komunikasi lainnya. Sajak
tidak akan berhenti sebagai sebuah bacaan semata. Sejauh ini ia telah
disuarakan dan didengar. Sudah tiba pula saatnya agar ia dapat
dilihat dan kalau perlu bisa disentuh dalam wujudnya sebagai simbol-
simbol atau tanda-tanda yang merepresentasikan keberadaan dirinya
sendiri, yaitu dalam bentuk tipografi-tipografi nya yang paling
konkret yang merupakan bagian ekspresif dari sajak yang tidak sekedar
mengusung bentuk tapi juga harus memiliki maksud tertentu. Sudah
seharusnya tipografi sajak menjadi sebuah tanda lahir, sebuah jejak
yang diterakan sendiri oleh tangan sang penyair.
Selanjutnya, apabila kata tersebut kemudian mengalami
metamorfosis di dalam sajak dan menjelma menjadi seorang manusia maka
ia harus seutuhnya manusia, ia bukan sekedar mata kanan atau mata
kiri, bukan pula tangan kanan atau tangan kiri. Karena ia bukan sapi,
kelinci, kucing atau anjing. Ia harus memiliki identitas, dan
identitasnya itu adalah dirinya sendiri; wujud sajak sebagai cerminan
terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ia harus mampu
menyatakan dirinya. Ia harus menjadikan dirinya sendiri berarti. Agar
dengan demikian ia pantas untuk hadir dan dihargai, agar kemudian ia
pantas pula untuk menikmati eksistensi dari kehidupannya sebagai
bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah tujuan utama
kehadiran sebuah sajak, bukan sekedar untuk merayakan kepedihan, atau
mengungkapkan rasa sekedar. Ia harus sanggup memberikan kehidupan dan
tempat yang seluas-luasnya bagi kreativitas. Sebagaimana batu hidup
bersama waktu dan menjeritkan kebisuannya. Sebagaimana waktu hidup
dan berdetak di tengah kita bersama keberadaan kata-kata.

Titon Rahmawan