Monday, December 18, 2006

Ikhwal penyair dan Ikhwal Sajak

1 . Ikhwal Penyair

Di dalam dunia yang cenderung tidak memiliki tradisi membaca dan
tidak cukup memahami makna puisi, maka status kepenyairan tidak
mungkin bergantung atau diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan
pandangan pembaca. Otoritas atas kepenyairan ada pada tangan penyair
itu sendiri, yaitu pada keadaan di mana seorang penyair dapat
menggali seluruh potensi yang dimilikinya untuk melahirkan dirinya
sendiri. Karena itu tidaklah mungkin seorang penyair lahir dari
sebuah situasi kekosongan.
Ia hanya mungkin lahir dari sebuah perenungan atau pemikiran yang
sublim. Dan bila pun kemudian ia terpaksa muncul dari sebuah situasi
kekosongan, ia tidak akan mungkin bertahan dalam keadaan sedemikian
rupa itu terus-menerus tanpa ada upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu yang mengungkung dirinya.
Seorang penyair harus mampu memberikan makna bagi dirinya sendiri
dan terutama bagi karya-karyanya, karena ia mengemban amanat besar
untuk mengkomunikasikan realitas psikologis maupun sosiologis dari
dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai
bagian dari masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya, maka seorang
penyair harus mampu membebaskan kata-kata sebagai media utama dari
komunikasi verbal yang hendak ia nyatakan di dalam penulisan karya-
karya sajaknya itu. Baik dari kungkungan penjara ilusi yang berasal
dari luar dirinya sebagai hasil rekayasa kekuasaaan, maupun dari
keterbatasan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya seorang penyair harus
berusaha keras menjaga agar kata-kata di dalam sajak-sajaknya itu
mampu tampil sebagai sebuah bentuk komunikasi timbal balik antara
dirinya sendiri dengan masyarakat yang membaca karya-karyanya.
Sudah menjadi tugas seorang penyair untuk mengatasi keterbatasan
media di dalam penulisan puisinya dan sekaligus keterbatasan media
kata itu sendiri. Sajak harus menemukan pintu keluar dari kemampatan
ini, yaitu dari segenap kecurigaan yang telah merasuki kalangan para
penyair sendiri yang menyatakan bahwa selama ini kata telah mati dan
demikian pula dengan puisi. Penyair harus sampai pada kesadaran baru
untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, bukan lagi
sebatas angan-angan, atau sekedar sebagai mimpi dan ilusi. Karena
ilusi atau mimpi sekalipun bila ia tampil di dalam sajak harus dapat
merepresentasikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang inspiratif dan
memberi nafas serta nuansa yang baru dalam khazanah sastra kita,
yaitu pembaharuan penulisan puisi yang bisa terlihat, terdengar serta
teraba getarannya. Sehingga mimpi itu kemudian dapat tampil sebagai
sebuah gambaran nyata dari realitas kehidupan.
Masuknya budaya visual lewat media elektronik dan grafis tidak
harus menggoyahkan otoritas kata sebagai media komunikasi verbal.
Disinilah sesungguhnya letak tantangan kreativitas yang terbesar yang
menanti para penyair, yaitu pada upaya bagaimana ia dapat menampilkan
puisi-puisi karyanya itu sehingga mampu eksis dan tetap bertahan
hidup di tengah serbuan kekuatan-kekuatan media komunikasi lainnya.
Sudah menjadi tugas utama para penyair untuk memberikan dan
mempertahankan kehidupan dan bukannya tunduk pada kekuatan kematian
atau tekanan kekuasaan manapun yang hendak mengkerdilkan makna dari
puisi itu sendiri.



2. Ikhwal Sajak

Kira-kira apa yang akan terjadi sekiranya kita memberikan nyawa pada
sebongkah batu? Maka batu itu pastilah akan menyerukan ke'diam'annya,
bahkan mungkin ia akan meneriakkan kebekuannya lebih nyaring daripada
apa yang sanggup di dengar oleh indera pendengaran kita. Dan
demikianlah seharusnya sajak menyuarakan dirinya sendiri. Tapi apa
yang sebenarnya telah terjadi pada sajak sejauh ini, dan bagaimana
pandangan orang terhadapnya?
Walau kata sebagai esensi utama dari sebuah sajak telah berhasil
keluar dari penjara kebuntuan leksikon, namun masih saja banyak di
antara kita seakan melupakan bahwa sajak bukanlah sekedar kata. Di
mana-mana terjadi situasi di mana sajak berhenti sebagai rangkaian
kata-kata dan kata berhenti hanya sebagai bunyi. Puisi di dalam sajak
kehilangan daya kekuatan magisnya untuk kembali menyuarakan dirinya
sendiri dengan lantang. Dengan semena-mena manusia memenggal esensi
puisi di dalam sajak, dan menjadikan orok sungsang itu lahir
prematur. Sementara di banyak tempat prosa semakin merajalela, dan
sajak kemudian semakin kehilangan identitasnya. Kini segala sesuatu
harus dibaca bersama massa; dalam konteksnya sebagai sebuah label
hibriditas tanda-tanda yang hampir-hampir tidak memiliki identitas
sama sekali.
Tapi sekali lagi sajak bukanlah sekedar kata, dan bila pun ia
kata ia bukanlah kata sekedar. Puisi bukan pula sekedar bunyi, karena
apalah makna bunyi kalau ia tidak mengekalkan arti? Pada mulanya
memang, puisi harus menjadi dirinya sendiri: sebuah lampu yang
memiliki fungsi untuk membuat segala sesuatu terlihat lebih jelas,
namun di sisi lain ia adalah bagian dari sebuah realitas, yaitu
keberadaannya di dalam ruang dan waktu. Ia hadir sebagai esensi dan
sekaligus sebagai pelengkap, sebagai subyek dan obyek sekaligus. Ia
adalah lampu di meja makan, ia adalah bangku di tengah taman. Dan
sebagai lampu atau bangku ia harus memiliki identitas agar ia
dikenali, karena ia tidak bisa berdiri begitu saja di tengah massa
yang mengacuhkan keberadaannya serupa keberadaan batu itu. Maka
sebagai batu sekalipun ia harus mengungkapkan dirinya. Apalah arti
batu bila hanya untuk disepak atau ditendang orang? Tapi siapa berani
menendang batu nisan di tengah kuburan? Bagaimana pula orang
memperlakukan sebuah batu mulia?
Otoritas kata di dalam sajak harus dikembalikan pada
fleksibilitasnya, yaitu pada kemampuannya untuk menyatakan dirinya
sendiri dalam bentuk apapun yang ia inginkan. Tidak saja secara
verbal di mana kata dapat bertransformasi atau bermetamorfosis sesuai
dengan yang ia kehendaki melainkan juga di dalam wujud visualnya
yaitu di dalam tipografinya, karena tipografi sebagai wadah atau
bentuk dari sebuah sajak berfungsi untuk menyampaikan apa yang
tersurat dari yang tersirat, ia dapat berfungsi sebagai salah satu
pintu menuju pada pengertian. Bahwa sajak tidak harus dijelaskan
melalui media lain selain dirinya sendiri, karena ia telah sanggup
mencukupi dirinya sendiri. Sajak harus dapat mengkomunikasikan
dirinya sendiri dan hadir sepenuhnya dengan identitasnya sendiri yang
mewakili seluruh keberadaan dirinya secara utuh dan konkret.
Dengan demikian maka sajak-sajak akan tampil dengan lebih
komunikatif dan jauh lebih atraktif serta menemukan tempat berpijak
yang kokoh untuk bersaing dengan media komunikasi lainnya. Sajak
tidak akan berhenti sebagai sebuah bacaan semata. Sejauh ini ia telah
disuarakan dan didengar. Sudah tiba pula saatnya agar ia dapat
dilihat dan kalau perlu bisa disentuh dalam wujudnya sebagai simbol-
simbol atau tanda-tanda yang merepresentasikan keberadaan dirinya
sendiri, yaitu dalam bentuk tipografi-tipografi nya yang paling
konkret yang merupakan bagian ekspresif dari sajak yang tidak sekedar
mengusung bentuk tapi juga harus memiliki maksud tertentu. Sudah
seharusnya tipografi sajak menjadi sebuah tanda lahir, sebuah jejak
yang diterakan sendiri oleh tangan sang penyair.
Selanjutnya, apabila kata tersebut kemudian mengalami
metamorfosis di dalam sajak dan menjelma menjadi seorang manusia maka
ia harus seutuhnya manusia, ia bukan sekedar mata kanan atau mata
kiri, bukan pula tangan kanan atau tangan kiri. Karena ia bukan sapi,
kelinci, kucing atau anjing. Ia harus memiliki identitas, dan
identitasnya itu adalah dirinya sendiri; wujud sajak sebagai cerminan
terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ia harus mampu
menyatakan dirinya. Ia harus menjadikan dirinya sendiri berarti. Agar
dengan demikian ia pantas untuk hadir dan dihargai, agar kemudian ia
pantas pula untuk menikmati eksistensi dari kehidupannya sebagai
bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah tujuan utama
kehadiran sebuah sajak, bukan sekedar untuk merayakan kepedihan, atau
mengungkapkan rasa sekedar. Ia harus sanggup memberikan kehidupan dan
tempat yang seluas-luasnya bagi kreativitas. Sebagaimana batu hidup
bersama waktu dan menjeritkan kebisuannya. Sebagaimana waktu hidup
dan berdetak di tengah kita bersama keberadaan kata-kata.

Titon Rahmawan

No comments: