Thursday, June 25, 2009

Diary - Anne Frank

Eri Irawan

(Sebab) kertas lebih sabar ketimbang manusia. Anne Frank menulis selarik kalimat itu di buku hariannya. Sebuah pasase yang pada awal kuliah sempat kucetak besar lalu kutempelkan di kamar pondokanku yang rudin.

Saya sering memandangi tulisan itu sesaat setelah menulis di buku harian di malam-malam yang kadang sepi kadang teramat riuh.

Dan Jumat malam itu, 5 Juni 2009, setelah melihat sekilas tayangan tentang Anne Frank di televisi kala berbincang bersama dua kolega baik di sebuah kafe di Surabaya, saya terhenyak. Saya tiba-tiba teringat buku harian Anne, bocah manis itu, yang pasti kini teronggok tak berdaya di rak buku saya di rumah.

Ah, apa kabarmu, bocah manis?

* * *

Ia datang bukan sebagai orator yang menggebu bicara kemanusiaan. Ia bukan panglima militer, ekonom, fisikawan, atau atlet legendaris. Tapi, bertahun-tahun sesudah kematiannya, orang ramai tetap tak pernah lupa: kisahnya terus terekam lewat buku dan film, pasase-pasase di buku hariannya lekat di ingatan.



Tepat 12 Juni, 80 warsa silam, ia keluar dari rahim ibunya. Kita tahu, buku harian Anne menyita perhatian di seluruh penjuru dunia. Bahkan, bermula dari diary yang disapanya sebagai ”kitty” itulah nama Anne ditabalkan Time sebagai salah satu tokoh berpengaruh di abad ke-20, sebuah abad yang gemuruh oleh tragika dan baluran darah segar. Nama Anne masuk dalam kategori heroes dan icons, bersanding dengan banyak nama besar, seperti Bunda Teresa, Muhammad Ali, dan Che Guevara.

Ia tiga belas tahun kala itu, 12 Juni 1942, saat kali pertama menulis buku harian. ”Aku berharap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya. Aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku,” tulisnya.

Anne memberi jalan benderang kepada kita untuk memahami betapa asyiknya menulis diary kendati ia berada dalam risau luar biasa akibat pembersihan warga Yahudi ketika Hitler masih berjaya. Ia menjadikan diary sebagai medium untuk memundaki derita dan kecemasan, sekaligus menampakkan keriangan menghadapi hidup.



Anne tak mengawali proses penulisan buku hariannya dengan mudah. Ia jujur mengakui kesulitannya dalam awal mula menulis. Ia tak tahu apa kelak yang ia tulis itu berguna atau tidak.

Tapi, Anne tak perlu menunggu jawaban terlalu lama tentang ”apakah kelak yang ia tulis berguna atau tidak?”, sebab ia sadar bahwa menulis diary adalah sebuah ikhtiar yang kelewat personal namun bermakna sosial ketika yang digoresnya adalah suara batin yang menghayati kemanusiaan.

Maka, dia pun merasakan kenyamanan itu. Tak butuh lama sejak kali pertama menulis diary, Anne sudah merasakan betapa nikmatnya ”proses menulis”—bahkan jauh lebih nikmat ketika tulisan sudah rampung dan dibaca orang ramai.

Ia menambahkan pada 28 September 1942 tentang nikmatnya ”proses menulis” dalam selarik kalimat yang tegas: aku merasa tidak sabar menunggu saat-saat untuk dapat berbagi cerita bersamamu.

Dan memang benar, bahwa menulis diary dengan jujur adalah terapi jiwa menghadapi idealitas dunia yang kian menjadi utopia.



Anne menulis diary sejak usia tiga belas tahun. Tangannya terakhir kali menggores diary pada 1 Agustus 1944, hanya tiga hari sebelum orang-orang yang ada di tempat persembunyian, termasuk dirinya, ditangkap.

Berkat buku hariannya itu, Time menyebut Anne sebagai ”the most memorable figure to emerge from World War II”.

Tentu saja bukan hanya Anne yang menjadikan diary sebagai teman yang menyejukkan sekaligus sarana menyalurkan pemberontakan individual terhadap wajah bopeng dunia. Beberapa nama yang bisa disebut adalah Zlata Filipovich, Nadja Halibegovich, Mochtar Lubis, Ahmad Wahib, atau Soe Hok Gie.

Nadja Halibegovich, bocah lugu yang merana dalam gigir kecemasan luar biasa akibat perang, juga menulis catatan harian yang di kemudian hari dibukukan dalam Catatan Harian Anak Sarajevo.

Di sana ia mencurahkan kecemasannya dalam lebam kehidupan yang dibekap desing peluru dan dengus nafsu peperangan. Sekali lagi ini membuktikan, diary kendati sering disebut kelewat personal, tetap bisa menjadi penjelas wajah retak dunia. Simaklah kala Nadja menulis: ”bom-bom meledak di seluruh penjuru kota. Aku menyembunyikan perasaan-perasaan dari semua orang tetapi aku tenggelam dalam keputusasaan. Kapan perang ini akan berakhir? Berapa lama lagi hidupku akan berisikan ruang kematian?”

Dengan nada masygul, Zlata menulis, ”We’re all waiting for something, hoping for something, but there’s nothing.”

Kita juga teringat pada nama Mochtar Lubis—selain Gie dan Wahib, tentu saja. Mochtar Lubis menulis catatan harian di ruang pengap penjara. Mulai dari menu makanan penjara hingga kritik keras ia goreskan di catatannya. Dua buku akhirnya diterbitkan.

Buku pertama berumbul Catatan Subversif berisi catatan hariannya kala dikurung sekira 10 tahun pada zaman Orde Lama. Buku kedua adalah Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru yang, sesuai judulnya, berisi catatan tokoh Indonesia Raya itu dalam tawanan Orde Baru. Dari kedua buku itu kita tahu sepak-terjang Mochtar Lubis dalam memberikan cermin kemanusiaan bagi kita.

Saya membaca Catatan Subversif ketika masih bergelut di pers mahasiswa. Itu salah satu buku wajib di pers mahasiswa tempat saya belajar menulis, dan terutama belajar bagaimana menjejakkan laku dan pikir untuk berpihak.

Dinihari itu, setelah melihat tayangan tentang Anne Frank di televisi, dalam guncang-deru bus Surabaya-Lumajang, saya baca lagi Catatan Subversif dengan perlahan. Saya menikmati ketegasan kalimatnya, sebuah ikhtiar untuk menunjukkan bahwa tulisan adalah jalan untuk memberi suluh bagi gelap kehidupan.



Saya berhenti di halaman 270. Di sana dilampirkan editorial The Philippines Herald terbitan 20 Desember 1963. Isinya tentang kemerdekaan pers. The Philippines Herald menuntut agar Mochtar Lubis dibebaskan. Dalam editorial berumbul Bebaskan Lubis sebagai Tanda Good Will Indonesia itu ditatah bahwa dalam pers Filipina terdapat tempat bagi Mochtar Lubis. Sebuah apresiasi yang sangat tinggi bagi pendekar jurnalitik Indonesia itu.

* * *

Catatan harian Gie dan Wahib, dua orang yang mati muda itu, juga menjadi inspirasi banyak orang. Gie dengan idealisme dan romantika khas anak muda, dan Wahib dengan gagasan besar soal keislaman dan keindonesiaan. Lain kali saya ingin menulis perjumpaan saya dengan dua anak muda itu.

Malam itu, saya tiba-tiba teringat buku harian yang sudah cukup lama tak saya sentuh. Saya menulis buku harian sejak SMA, jauh sebelum saya membaca Anne, Mochtar Lubis, Nadja, Zlata, Gie, maupun Wahib.

Saya selalu belajar untuk tahu bahwa menulis diary, yang kerap kita anggap sepele, ternyata menjanjikan kenikmatan tersendiri. Menulis diary bukan hanya persoalan menumpahkan pikiran dan perasaan yang teramat pribadi, melainkan juga ikhtiar untuk selalu berusaha jujur pada diri sendiri. Kadang hanya di depan diary-lah kita bersikap jujur.

Lewat buku harian pula, yang kita anggap wilayah pribadi itu, ranah sosial terekam. Sebab, di sana kita juga bisa menulis soal wajah bangsa dan masyarakatnya. Perjumpaan antara pikiran-perasaan dan realita dunia terkadang melahirkan tulisan yang tidak hanya menyentuh, tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi orang ramai untuk bersama-sama melaburi dunia dengan belarasa dan empati, bukan dengan benci dan intoleransi.

Tapi, tentu saja, saya kemudian sadar bahwa diary kadang tak cukup mampu untuk dibebani kecemasan dunia.

Dicungkil dari
Klik" facebooknya