Monday, August 25, 2008

Hudan Tentang Manusia Setengah

Manusia Setengah

Manusia setengah jadi
Bergantung janji
Hingga perlahan mati

Manusia setengah mati
Tak jera memuja janji
Yang tak juga jadi

Manusia setengah janji
Tak bertemu jadi
Hingga dibawa mati

Jadi mati[lah] janji

:Dikurung mati pada janji yang tak jadi

sby, Agust 2008

Apresiasi-Sastra@ yahoogroups. com
Date: Sunday, August 24, 2008, 11:08 AM

Puisi ini seolah manusia yang menggantung. seolah manusia nyaris. Seolah ada harapan di seberang sana. dari hidup yang tanpa harapan.

Tak ada apa di balik hidup. Hanya mitos akan sesuatu yang indah tapi kosong harapan. Yang diteriakkan penyair gita dengan suara terbelah - belahan dari mitos yang diembuskan kepada dirinya sebagai konvensi. Tapi belahan yang tersembunyi lagi menggeliat juga minta keluar.

tak jera memuja janji
yang tak juga jadi

Tapi di ujung puisi ia keluar dari keragu-raguannya. Menjadi manusia yang bukan nyaris. Tapi manusia sempurna alias tak memiliki apa-apa selain hidupnya.

jadi mati (lah) janji, teriaknya.

Maka apa bedanya dengan kawanku yang menulis di sana: tuhan telah mati.

Sama dan seirama, bukan?

hudan

Friday, July 11, 2008

[Esai] Tiga Perempuan Penyair

Sebuah puisi, sebuah esai hakui tentang puisi, sebuah esai tentang puisi dan tentang esai tentang puisi, sebuah puisi, sebuah esai tentang puisi, seperti di”lekat”kan Kris Budiman di sini, memang mengandung “jarak” dan “idealisasi” yang nyata. Tapi jarak, idealisasi, terasa absurd bagi saya, terasa misterius.

Lihatlah bagaimana jarak itu bekerja: ia merentang sepanjang rantai sejarah manusia. Tapi sekaligus memendek dengan apa yang namanya kenangan.

Jarak dalam ruang, ruang dalam jarak, seolah menunjuk sebuah ukuran. Seolah menunjuk beberapa ukuran (lihatlah sistem galaksi kita). Tapi apakah di balik ukuran dan beberapa ukuran ini? Adakah sesuatu yang tak terukur, di mana ruang dan jarak lesap ke dalamnya? Apakah ia hendak kita sebut? Adakah seni puisi bisa bekerja di sini? Aduh: betapa implikatifnya!

Seumpama kematian, jarak adalah idealisasi sesudah mati: apakah di balik mati? adakah surga di balik mati?

Jarak inheren dalam idealisasi. Idealisasi mewujud dalam jarak. Mereka menampit seolah roh dan badannya. Mereka menjauh seolah kesadaran menunjuk benda dan peristiwanya.

Jarak dan idealisasi mengerut dalam kata – seolah pecahan beling dengan gelasnya. Saat gelas itu pecah menjadi beling, itulah saatnya kata-kata menunjuk kepada maknanya.

Menariknya dunia kata, adalah saat ia bisa mendekat atau menjauh, dari manusia yang mengalami. Kata-kata bisa seolah manusia tidur, di mana pembelahan pikiran dan tubuh terjadi (jarak itu). Orang tidur bukankah tidak menyadari tubuhnya sendiri? Tapi dalam keadaan terbelah pun, idealisasi itu muncul lagi. Itulah saatnya orang tidur memimpikan kebahagiaannya, meski ia dalam keadaan tidurnya.

Saat orang tidur, itulah saat pula bagi kata-kata menarik diri, masuk terbenam ke dalam manusia yang mengalami peristiwa atau benda. Seperti orang tidur, kata-kata menjadi pasif . Tak bergerak. Di sini kata berlum beruang. Tenggelam dalam kesadaran. Kesadaran yang aktif, tapi aktifitas kesadaran itu belum memperoleh ruang – ruang kata-kata alias ruang aksara.

Begitulah kata-kata itu terbenam dalam diri. Begitulah pengalaman benda-benda itu terasa berjarak dari manusia yang mengalami. Ia menilai. Ia mencerap semuanya – ia mengidealisasi, atau menampik idealisasi. Ia melesap ke dalam kesadaran.

Bangkitnya kesadaran dalam kata-kata yang memperoleh ruang ini, adalah waktu untuk puisi. Mewujudkan pencerapan yang dilakukan oleh kesadaran ke dalam ruang puisi. Puisi dari sebuah dunia yang tak berhukum kecuali hukum yang dikehendaki oleh penyair. Dunia tak berbatas kecuali batas yang dikehendaki oleh penyair.

Jelaslah. Penyair membuat hukumnya sendiri dalam dunia puisi yang dituliskannya. Di mana satu-satunya hukum (kalaupun boleh disebut sebagai hukum) adalah apakah dunia puisinya kering dan mengandung makna untuk melihat kehidupan.

Saat penyair menulis puisi, itulah saat di mana kata-kata mendekat kepada pengalaman manusia akan benda-benda dan peristiwa. Bahkan pendekatan itu kini lebih masuk lagi menjadi penyatuan. Benar. Sang penyair telah menyatu dengan peristiwa dan benda-benda. Larut ke dalam peristiwa dan benda-benda yang diceritakannya dalam syairnya.

Tetapi imajinasi dan imaji yang melekat kepada manusia penyair atau manusia pembaca syairnya, telah membuat kata-kata itu membelah diri lagi, ke dalam penjauhan dan pendekatan benda dan peristiwa di dalam syair – jarak. Begitulah mereka selang-seling berjalan bolak-balik.

Dalam puisi, penjauhan terjadi saat sang aku lirik bercerita tentang peristiwa dan benda-benda, di mana peristiwa dan benda telah menjadi objek pengamatannya, seperti yang ditunjukkan Kris Budiman terhadap dunia puisi Amir Hamzah dan Chairil. Tetapi pendekatan kepada peristiwa dan benda-benda terjadi lagi, saat sang aku lirik menjadi atau mewujudkan dirinya sebagai objek dari peristiwa dan benda-benda itu sendiri. Dirinya sebagai subjek lebur ke dalam peristiwa dan benda-benda. Mengubah narator menjadi lirik. Narator lirik dari tanda bahwa suatu bahasa tulis sedang bekerja di sana.

Kris Budiman telah mengutip narator yang telah menjadi lirik ini, dalam dunia puisi Herlinatiens, sebuah dunia yang menjadi tipikal manusia modern untuk berontak, sebagai yang saya lihat pula dalam dunia puisi Maria Ferarri, di mana pemberontakan di sana mengambil atau mewujud ke dalam pemberontakan terhadap surga dan neraka dalam hubungan passion manusia – Maria menyebutnya para pendosa. Atau yang terbaca juga dalam dunia puisi Gita Pratama, sebagai sebuah pemberontakan dengan mengambil bentuk anak kecil yang diceritakannya, melawan dunia realita manusia dewasa: Seharian berlarian bergulat pasir taman
Di atas papan seluncur kau berdiri terkekeh
"Kukencingi kalian", teriaknya pada bocah lainnya (Gita Pratama)


Selamat dan salut/ternyata aku tak salah dengan membunuhmu/lebih dulu (Herlinatiens)

Inilah narator yang telah menjadi lirik, dari seorang novelis tersohor ini. Di mana narasi selamat dan salut adalah sebuah idealisasi, juga ancang-ancang yang berfungsi semacam latar bagi sang aku untuk masuk menjadi narator lirik, atau kata yang mendekatkan manusia pada objeknya, objek yang bergerak menjadi subjek: aku tak salah dengan membunuh.. tapi subjek itu keluar lagi dari dalam dirinya, membuat atau menjadi jarak lagi dengan “mu” di situ.

Permainan subjek objek, jarak dan idealisasi yang keluar masuk itu, terjadi juga dalam puisi Maria Ferarri “Sambutlah Kami Para Pendosa”. Menarilah lidah-lidah api, kata perempuan berwajah melankolik ini, menyuarakan latar kelam dari idealisasi pemberontakannya, demi sebuah kebebasan yang dipilihnya. Latar di mana sang aku lebur menjadi kami para pendosa. Yang merentangkan jarak dirinya dengan idealisasi lain atau jarak lain. Dengan ungkapan yang begitu memilukan, tapi terasa mencapai pemberontakan yang penuh: Di neraka kami berjumpa/untuk segala api segala bara.

Narator yang menjadi lirik, atau aku sang penyair yang lesap ke dalam benda, telah menjadi benda itu sendiri dengan menyuarakan pengalamannya. Saat di mana jarak menghilang, meruang dalam dalam diri sang penyair, seperti terbaca dalam dunia puisi tiga perempuan penyair itu. Di mana lesapan itu menjadi atau membentuk jarak kembali dengan idealisasi yang diungkapkan mereka dalam puisinya.

Di sana puisi nampak begitu menggetarkan.

(Hudan Hidayat)

Thursday, May 1, 2008

[Ruang Renung # 164] Bicara Biasa, Bicara Puisi

Oleh HASAN ASPAHANI

BERPUISI itu adalah berbahasa. Puisi itu adalah bicara kita. Berbicara dengan puisi berbeda dengan berbicara biasa. Puisi bukanlah bicara yang tidak komunikatif. Memang lebih mudah memahami bicara biasa dibandingkan bicara puisi. Bicara biasa tujuannya cuma satu: ia harus dimaknai tunggal, penyimak isi pembicaraan hanya berusaha menerima satu-satunya makna atau pesan dari si pembicara. Jika itu tidak terjadi maka komunikasi gagal.

PUISI tidak begitu. Kata A Teeuw, puisi menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan secara berliku-liku, sehingga mengejutkan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi justru keanehan itu menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.

AKAN tetapi bukan berarti puisi harus dirumit-rumitkan, diruwet-ruwetkan agar ia susah dipahami. Pengaturan bicara puisi diupayakan agar pemaknaannya bisa kaya, tidak tunggal. Mungkin hanya ada satu makna pokok seperti dalam bicara biasa, tapi yang pokok itu pun memberikan banyak variasi cara memaknainya.

SI penyimak bicara puisi menemukan kenikmatan dari seluruh sisi bahasa puisi itu. Puisi tidak menuntut kepraktisan komunikasi. Puisi memberi kesempatan pada pengguna bahasa untuk bermain-main lagi dengan kata, membangkitkan lagi kenakalan bahasa, bertamasya ke dalam ruang-ruang bahasa yang jarang dikunjungi dalam kesibukan berbahasa kita sehari-hari.

Diculik dari SEJUTA PUISI

TEKS PUISI, TEKS KEHIDUPAN Oleh WAYAN SUNARTA


Nov 09, 2007 at 06:16 PM

Umbu Landu Paranggi, mantan Presiden Malioboro yang kini menetap di Bali, yang hampir seluruh hidupnya dibaktikan untuk puisi, pernah berujar: kehidupan adalah puisi dan puisi adalah kehidupan itu sendiri. Saya rasa Umbu benar untuk hal itu. Begitu rupa ia mencintai puisi. Begitu dalam pula puisi mencintainya. Umbu adalah puisi itu sendiri, ia adalah teks jua.

Puisi adalah sebuah teks besar. Dan kehidupan juga adalah sebuah teks besar. Keduanya berkelindan dalam kepala setiap pembaca teks. Tentu pembacaan itu melahirkan tafsir yang beragam, sesuai dengan ketelitian dan kekuatan pembacaan. Tidak ada tafsir tunggal. Setiap pembaca sah menafsirkan teks, menafsirkan puisi atau kehidupan. Dan dengan penafsiran itu pula ia menjalani apa yang diyakininya.

Dari setiap penafsiran itu pula puisi menemui jalan hidupnya sendiri ketika ia diserahkan dengan ikhlas ke khalayak dan sang penyairnya (pengarang) mati dengan indah atau penuh kecemasan. Sebuah puisi bisa bernasib malang di tangan redaktur karena dianggap tidak layak muat. Sebuah puisi bisa bernasib indah ketika ia dimuat dan diapresiasi pembaca dengan penghargaan tinggi. Sebuah puisi bisa pula bernasib tragis ketika ia diberangus karena dianggap menghina agama atau kekuasaan. Nasib puisi sama halnya dengan nasib manusia. Jalan hidup puisi adalah ketidakterdugaan.

Sebuah puisi harus dibaca sebagai sebuah teks yang di dalamnya mengandung berbagai unsur kehidupan yang berkelindan, yang memeram makna tak terduga, yang bagai lapisan kulit bawang. Bahkan kata atau metafora yang membangun puisi adalah juga teks-teks yang saling berjalinan. Puisi tidak mengharapkan hal-hal yang berlebihan dari pembacanya. Karena segala hal yang berlebihan akan dikembalikan kepada Sang Pencipta. Yang dirindui puisi hanyalah rasa cinta dan kasih yang tulus, yang jauh dari kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, arogansi atau bentuk-bentuk penghakiman lainnnya. Sebab pada intinya puisi mencintai dirinya sendiri, sekaligus pembacanya.

Puisi memberikan ruang untuk keberagaman, untuk perbedaan yang diharapkan akan membangun penghargaan terhadap kemanusiaan kita. Itulah pula sebabnya mengapa kitab-kitab suci disusun dalam bentuk syair (puisi), bukan prosa? Mengapa pula mantra dibuat dalam bentuk puisi? Karena puisi menghargai perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Dengan kata lain, tidak ada tafsir absolut terhadap puisi. Puisi memiliki jiwa yang berbeda dengan prosa. Puisi adalah kejujuran hati, sedangkan prosa adalah penipuan diri. Puisi adalah matahari, sedangkan prosa adalah bulan. Puisi adalah kesetiaan, sedangkan prosa adalah pengingkaran pada diri sendiri.

Ketika penyair menyusun kata-kata menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan khalayak pembaca. Membaca puisi sebagai teks adalah memasuki rimba raya lambang. Puisi adalah rimba, dan pembaca adalah pemburu atau mungkin petualang yang tersesat.

Pembaca sebagai pemburu tentu sudah menyiapkan senjata, bekal dan segala perkakas untuk berburu. Di dalam rimba puisi, ia berburu makna, atau berburu keindahan yang dirinduinya. Ia bisa pulang bahagia dengan membawa hasil buruan, atau kecewa tidak menemukan apa-apa di dalam rimba puisi. Ada sedikit pemburu yang mau memasuki rimba puisi karena menganggap tidak ada hewan-hewan berharga di sana, atau karena berburu di dalam rimba puisi lebih sulit ketimbang di dalam rimba prosa. Pemburu dalam hal ini adalah kritikus atau orang yang menobatkan dirinya sebagai kritikus sastra.

Pembaca sebagai petualang yang tersesat adalah ketidakterdugaan yang indah. Hanya karena karunia keindahan yang menyebabkan ia tersesat ke dalam rimba puisi. Dengan ragu dan cemas ia menyusuri belantara, berharap menemukan jalan kembali. Ia tidak akrab dengan rimba puisi. Namun di dalam keraguan dan kecemasan ia perlahan mencoba mengikhlaskan dirinya pada rimba puisi. Demi bertahan hidup dalam rimba puisi, ia berusaha mencintai setiap pepohonan, belukar, duri, bunga-bunga, buah segala buah, dan berupaya menghindar dari sergapan binatang buas. Sampai akhirnya ia menemukan tempat yang aman dan nyaman dalam rimba puisi. Perlahan rimba puisi membuka segala keindahannya untuk si petualang yang tersesat itu. Ada kolam bening di mana ia bisa mengacakan wajah, meraba atau membaca bayangan dan kenangan.. Ada bunga yang perlahan merekah di hadapan mata sehingga ia bisa menyentuhkan jari-jarinya ke sari bunga yang indah itu. Ada duri yang ia biarkan menyusup di telapak kaki sehingga kepedihannya tiada terasa nyeri lagi. Si petualang yang tersesat merasa menemukan nirwana dalam rimba puisi. Ia tidak ingin pulang lagi, ia menyatu dalam rimba puisi. Saya rasa Umbu adalah salah satu petualang yang tersesat dalam rimba puisi.

Puisi memberi kita banyak hal untuk belajar tentang kehidupan, keindahan sekaligus kepedihannya. Puisi berutang pada kehidupan, dan kehidupan berutang pula pada puisi. Namun sesungguhnya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka saling mencintai. Tidak ada kekuasaan apa pun di muka bumi yang mampu memisahkan keduanya, tidak raja tidak pula kaisar. Pemberangusan, pencekalan, penindasan atau pembredelan tidak akan melemahkan puisi dan kehidupan. Justru mereka semakin kuat untuk bersenyawa. Puisi (meminjam satu baris puisi Umbu) adalah raja diraja sekaligus budak belian bagi kerajaan purbani.

Kekuatan dan kemenangan puisi adalah justru karena ia menjadi bara yang bersemayam dalam jiwa setiap manusia. Puisi mampu menghangatkan hati, atau menghanguskan hati. Puisi seperti kundalini, ular mistik yang terlelap dalam cakra dasar manusia. Manusia yang dungu tidak akan mampu membangunkan ular itu dari tidur purbanya, manusia yang peka adalah pawang bagi si ular kundalini.

Puisi adalah ular kundalini yang semayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya.***
Last Updated ( Nov 09, 2007 at 06:22 PM )

Diculik dari puisi.net

Rancangan Undang-undang Oleh HASAN ASPAHANI

Semacam Pengantar:
Saya tidak sedang berkampanye jadi Menteri Perpuisian dan Kepenyairan. Jadi siapa yang ingin menertawakan RUU ini ya silakan. Mau merevisi ya silakan. Mau membaca dengan serius ya silakan. Ini cuma hasil kerajinan tangan pencinta puisi yang lagi kurang kerjaan. Ini edisi revisi. HAH

Rancangan Undang-undang
Perpuisian dan Kepenyairan

(Edisi Revisi Pertama)

Menimbang:
a. BAHWA di seluruh dunia tidak ada bangsa atau suku bangsa yang tidak mempunyai tradisi puisi, apapun bentuk dan kekhasannya. Puisi adalah lumbung kekayaan rohani umat manusia.
b. BAHWA di seluruh dunia dari zaman purba, manusia menciptakan puisi dengan fungsi dan tujuan yang bermacam-macam: keagaman, sosial, dan atau individual.
c. BAHWA puisi tentang apa saja, sampai kapan saja akan terus dituliskan, dinyanyikan, dibaca, untuk memukau, menghibur, memperkaya rasa dan hati, mengajak bercanda, merenung atau menyadari siapa sesungguhnya diri manusia.

Mengingat:
a. PUISI yang baik bisa mendekatkan manusia kepada Tuhan pencipta alam dan sesama manusia.
b. PUISI yang baik bisa membantu manusia menjalani hidupnya dengan lebih baik.
c. PUISI yang baik adalah pembuka jalan ke masa depan bahasa-bahasa.

Memutuskan:
Menetapkan: Undang-undang Perpuisian dan Kepenyairan


Bab 1. Ketentuan Umum
Pasal 1
Puisi dan Penyair

1. PUISI atau sajak adalah apa yang digubah dan diniatkan oleh penyairnya sebagai sajak. Kemudian niat sajak penyair itu bersesuaian dengan niat sajak bahasa dan niat sajak pembaca.

2. PUISI terutama hadir dengan kehadiran kata, tapi keadaan absen kata pun bisa menghadirkan puisi. Apa yang puisi bisa hadir atau dirasakan pada bahasa cahaya, bahasa bunyi, bahasa benda, bahasa rasa, dan bahkan bahasa aroma.

3. PENYAIR adalah orang-orang yang menggunakan sebagian waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan puisi, menyiarkannya di berbagai jenis media dan atau kadang-kadang melisankannya di hadapan khalayak ramai.

4. PUISI terbaik adalah puisi yang bahasa yang membangunnya dan makna yang dikandungnya tidak pernah menjadi bagian dari masa lampau, ia selalu bisa dikaitkan dengan masa kini dan ia bahkan menjadi isyarat masa depan. Puisi yang demikian hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kederdasan yang tinggi.

5. PUISI adalah dunia rekaan, dunia fiksi, peristiwa yang dialami atau yang dibayangkan oleh penyair dihadirkan dalam kata-kata dan bahasa yang bukan kata, dan tidak lagi berada di dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu puisi tidak bisa ditakar dengan ukuran yang biasa dikenakan untuk kehidupan sehari-hari.

6. PUISI adalah hasil dari kerja penyair mengamati dan menghayati alam dan meneliti peristiwa yang dialami manusia, lalu dengan menaati, mempermainkan, memberdayakan bahasa, bahan itu oleh penyair diolah, dengan demikian maka rujukan pertama dan terutama bagi puisi dan penyair adalah kehidupan dan tata bahasa.

7. PROSES penulisan puisi berakhir apabila dalam kata-kata dan bahasa lainnya yang dipermainkannya telah tersusun pesan yang hendak disampaikan olehnya dan atau telah tersusun peristiwa yang dirasa-rasakan pernah dialaminya dan ia merasa peristiwa dan pesan itu telah mengandung makna, berarti dan atau bermanfaat.

8. PUISI menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan berliku-liku, sehingga ia memberi kejutan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi keanehan itulah yang menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.

Pasal 2
Bentuk, Ruh, dan Falsafah Puisi

1. TAK ada batasan tentang seberapa panjang atau seberapa pendek sebuah puisi boleh dituliskan. Panjang pendek sajak tidak berhubungan dan tidak menentukan mutu puisi.


2. PENYAIR bebas memilih bentuk puisi. Penyair bebas memilih apakah ia ingin terikat pada sajak berbentuk tetap atau bebas dengan bentuk sajak bebas. Penyair bebas merusak bentuk-bentuk tetap, juga bebas membuat sebuah bentuk tetap yang baru.


3. ADA ruh dalam setiap puisi yang baik. Penampakan ruh itu timbul tenggelam antara kerumitan dan keutuhan puisi. Ruh puisi samar bahkan hancur pada sajak yang menawarkan kerumitan tetapi tidak bisa meraih keutuhan. Ruh puisi pucat, pudar bahkan hilang pada sajak yang utuh tapi sama sekali tidak asyik karena tidak menawarkan tantangan pemaknaan dengan kerumitan yang memadai.


4. TIAP penyair pasti akan dan harus menemukan dan atau memiliki kredo atau falsafah perpuisian dan kepenyairannya sendiri. Falsafah itu bukan cetakan yang tetap, tetapi ia menjadi tangan gaib yang membimbing penyair bertemu puisi-puisinya. Falsafah itu kemudian menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk melancong ke dalam puisi-puisi itu. Tentu saja pembaca boleh menemukan atau menciptakan pintu lain untuk menemukan kenikmatan lain.


5. PENYAIR boleh kapan saja meninggalkan kredo atau falsafah puisi yang pernah ia temukan, karena penyairlah yang menemukan kredo itu, bukan kredo yang menemukan penyair.

Bab 2. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca
Pasal 3

PUISI memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna pada sajak itu, karena puisi merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia penyair dengan segala pengalaman dan suka-dukanya.

Bab 3. Kebulatan dan Keutuhan Puisi
Pasal 4

SEBUAH puisi yang baik merupakan sebuah kebulatan dan kepaduan makna di mana segala unsur berkaitan satu dengan yang lain, di mana setiap bagian atau aspek menyumbang pada keseluruhan makna. Aspek sajak tersebut terdiri atas aspek makna, aspek tata bahasa, aspek struktur sajak, aspek bunyi sajak.

Bab 4. Peran dan Tantangan Penyair
Pasal 5

1. PENYAIR menjalani peran kepenyairannya antara permainan kata ala anak-anak dan penyampaian makna bak seorang nabi. Penyair bermain kata-kata sampai di dalamnya tersusun atau tersampaikan makna. Anak-anak hanya asyik pada permainan kata-kata tak peduli apakah bermakna atau hanya sia-sia. Nabi tidak bermain kata tetapi ia menyampaikan kata-kata yang bermakna yang ia terima sebagai wahyu dari Tuhan untuk dikabarkan kepada manusia, umatnya.


2. PENYAIR harus tetap mempertahankan kesadaran kritis agar ia tetap bisa mempertahankan kepenyairannya dan memberi kesaksian lewat sajak-sajaknya.


3. TANTANGAN penyair adalah terus-menerus mencari dan mengembangkan tema sajak-sajaknya dan menciptakan cara pengungkapan baru, bahasa yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair sebelum dia.


4. PENYAIR berhadapan dengan sejumlah kode tetap dan konvensi. Tetapi, kode dan konvensi itu bukan merupakan sistem yang tetap dan ketat: dalam kegiatan penciptaannya si penyair berhak dan bertugas untuk menerapkan sistem itu secara individual, menyesuaikan menurut keperluannya sebagai seniman, malahan memperkosa dan melanggarnya seperlunya. Pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat puisi yang khas, malahan pada masa-masa tertentu hasil dan nilai sebuah karya puisi sebagai besar ditentukan oleh berjaya-tidaknya dalam usahanya mendobrak dan merombak konvensi itu.


5. TETAPI dalam pelanggaran itu si penyair mau tidak mau terikat pada konvensi itu, agar tercipta ruang apresiasi yang layak untuk pembaca. Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total; sebab perombakan total akan berarti bahwa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya itu.


Bab 5. Penyair dan Kehidupan
Pasal 6

1. PENYAIR yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan dengan lingkaran dunia yang lebih besar. Perhatian pada dunia luar itu mengandung pengertian menaruh atau memberi hati, perbuatan yang dekat persinggungannya dengan mencintai.


2. TEMA cinta abadi dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. Cinta itu dapat berhenti pada “perhatian dan menaruh hati” itu saja, tetapi dapat pula meluap sebagai nafsu dan rindu yang ingin meluluhkan diri dengan subyek cintanya: bunga, langit, anak, kekasih, keindahan atau kebenaran yang didamba.


3. PUISI harus berada di pihak manusia korban, manusia yang lemah, yang tertekan, yang terasing atau diasingkan dari kenyataan kekuasan, dari komunikasi kemanusiaan.


4. DALAM puisi yang memerlukan kesaksian bukanlah kenyataan, bukan fakta dan kekuasaan, melainkan yang mungkin, yang rapuh, yang kelak retak, yang sia-sia.


Bab. 6 Sumber Ilham
Pasal 7

1. MASA kecil, istimewa atau biasa-biasa saja, bisa menjadi ilham puisi. Masa kecil harus dicurigai menyimpan sesuatu di bawah hal-hal yang berlangsung begitu-begitu saja.


2. PENYAIR harus sabar menjelajahi dan meneliti sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil agar hidup kembali atau tertangkap dalam kata-kata puisi.


3. SEGALA hal dalam masa kecil penyair diam-diam kemungkinan telah menjelma menjadi lambang-lambang; atau mungkin juga di masa kecil, lambang-lambang telah menjelma dalam hidup sehari-hari sebagai yang nyata. Karena itu masa kecil benar-benar mengasyikan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang dan karenanya sangat kaya makna.


4. PENGALAMAN-pengalaman yang sulit diingat karena amat sepelenya dan cenderung mudah dilupakan saja, harus diundang, dikenang, dirawat, ditumbuhkan lagi karena ia berharga untuk dicipta kembali dalam sajak-sajak.


5. PENYAIR harus mengamati, mengalami dan menghayati banyak hal. Kemudian perlahan ikhlas mendamaikan segalanya dalam ingatan. Ketika hal-hal itu datang serempak atau satu per satu, karena rangsang hal lain dan imajinasinya telah mengajaknya bermain, maka itulah saatnya ia menuliskannya sebagai puisi.

Bab 7. Pembaca, dan Memaknai Sajak

Pasal 8
Penyair dan Pembaca Sajak

1. TUGAS penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi.


2. Penyair harus mengupayakan agar sajaknya sampai kepada pembaca dan susunan kata-katanya tidak menghalangi pembaca untuk menyusun sendiri citra-citra atau imaji yang menggambarkan peristiwa tertentu. Tetapi juga tidak terlalu mudah sehingga tidak menawarkan imaji apa-apa bagi pembacanya.


3. Penyair tidak boleh menghalangi, juga sebaliknya tidak bisa memaksa pembacanya untuk ikut, atau akrab atau bahkan memiliki peristiwa dalam sajak yang ia ciptakan.


4. Pembaca-pembaca sebuah sajak bebas menangkap imaji yang mendukung sebuah sajak, tetapi bermakna tidaknya peristiwa itu baginya tergantung pada pengalaman, kecederdasan, dan kemauannya untuk membuka diri.


5. Modal pembaca untuk mendekati karya puisi terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau sistem itu sama sekali tidak dapat dipakai lagi untuk memahami karya seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya.

Pasal 9
Membaca dan Memaknai Sajak

1. Tak Tergantikan. Penafsiran sajak tidak pernah dapat menggantikan sajak itu sendiri. Sebab sajak yang baik adalah ekspresi yang ideal dari kebenaran yang direbut oleh penyair dari kehidupan. Penjelasan dan penafsiran hanya dapat berfungsi sebagai pengantar kembali pada sajak itu sendiri.


2. Merebut Makna. Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair.


3. Tak Pernah Tuntas. Tidak pernah ada makna sajak yang final, tidak pernah ada pengetahuan yang definitif dalam sajak. Puisi tetap pasemon yang terus-menerus memerlukan interpretasi, atau lebih tepat penghayatan dalam arti rangkap: pembaca tidak saja memberi hayat pada sajak yang dihadapinya, dia juga menerima hayat daripadanya, dihidupi olehnya.


4. Kaidah Paradoks Kode. Dalam membaca sajak pembaca selalu menghadapi keadaan paradoksal. Pada satu pihak sebuah sajak merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya; sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain tidak ada puisi yang berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.


5. Permainan Kejar-mengejar. Membaca puisi adalah semacam permainan kejar-mengejar antara sajak dan pembaca; sajak mengelak, mengejut, menyesatkan, meragu-ragukan si pembaca, tetapi si pembaca tak henti-hentinya berusaha menangkap sajak, mengembalikannya pada suatu yang dikenalnya, dipahaminya, menjadikannya wajar, koheren dan bermakna.


6. Paradoks dan Ironi. Paradoks dan ironi adalah ciri khas, bahkan bisa jadi syarat mutlak sajak modern. Salah satu bentuk ironi yang bisa dilacak ketika membaca sebuah sajak adalah pertentangan antara bentuk dan makna, antara ungkapan dan fungsinya, dalam keseluruhan sajak.


7. Klimaks Sajak. Sajak seringkali membeberkan semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki yang menentukan makna keseluruhannya, seringkali didapatkan oleh pembaca dalam bagian akhir sajak yang padanya bisa kita temukan beberapa kata atau ungkapan kunci.

8. Defamiliarisasi. Pembaca puisi harus siap terkejut dengan usaha defamiliarisasi yang dibuat oleh penyair. Defamilirasisai atau usaha untuk menjadikan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak ramah, yang tidak akrab, atau dengan kata lain deotomisasi adalah ciri khas puisi.

9. Hubungan Antarsajak. Sajak bisa dibaca, dipahami dan ditafsirkan sendiri, atau dengan memanfaatkan bahan atau data luar. Kadang ada hubungan batin antara beberapa sajak dalam karya lengkap atau sebuah kumpulan sajak seorang penyair. Ada kalanya penyair itu sendiri memberi petunjuk tentang hubungan antara dua atau lebih banyak sajak.


Bab 8. Bahasa Sajak
Pasal 10

BAHASA, dengan segala tata dan tertibnya, tidak hanya bisa dipakai untuk menata dan menertibkan sajak. Penyair berkarya dengan memanfaatkan konvensi dan aturan tata bahasa, menggali potensi kreatif dan sensitif yang ada pada bahasa sepenuh-penuhnya menjadi kekuatan sajak.

Bab 9. Sajak Gagal
Pasal 11

PADA prinsipnya bahasa puisi memang harus dapat dikembalikan pada yang bermakna dan kalau itu tidak mungkin untuk pembaca yang cukup peka, maka puisi itu telah gagal.
DENGAN kata lain, sebelum memutuskan sebuah puisi telah gagal atau berhasil, maka pertama yang harus dipertanyakan oleh pembaca adalah sudah sampai pada tingkat apakah kepekaan rasa dan minda puitiknya.

Bab 10. Penutup
Pasal 12

6. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini tidak mengikat siapapun, khalayak pembaca dan penyair yang sama-sama terus mencari jalan untuk menikmati puisi hanya ingin diketuk dan diberi rangsang pemahaman untuk kemudian dibebaskan mencari jalan sendiri.


7. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini boleh ditaati dengan ikhlas, dijadikan panduan, dibantah, dilupakan atau dibuat tandingannya. Silakan saja.


Batam, September 2006


Dirumuskan oleh Hasan Aspahani dari naskah-naskah telaah puisi oleh A Teeuw, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer Maria Rilke, dll.


Diculik Dari SEJUTA PUISI

Thursday, January 31, 2008

Dongeng Ritual Mandi dan Kedalaman Maksud

Oleh Dino Umahuk

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif sekaligus konotatif. Dibanding bentuk karya sastra lain, bahasa puisi lebih memilki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena terjadinya konsentrasi atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi yang sangat padat bersenyawa secara padu bagaikan gula dalam larutan kopi.

S. Effendi menyatakan bahwa dalam bahasa puisi terdapat bentuk permukaan yang berupa larik, bait dan pertalian makna larik bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan dan peambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada „mood” atau „atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologi dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi 1982:xi)

**
Dalam kaitan itu, sebuah puisi berjudul Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas telah di kirim ke email saya oleh panitia KOPDAR 2 Kemudian.com. Puisi ini dikirim ke saya tanpa nama penulisnya. Mungkin ini kesengajaan dari panitia agar peresensi tidak mengetahui identitas penulis puisi. Namun karena tidak mengetahui siapa penulisnya, saya agak kesulitan untuk menerawang suasana kebatinan dan latar belakang lahirnya puisi ini. Tapi baiklah saya akan mencoba memberikan apresiasi yang mudah-mudahan tidak salah dan keliru.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakainya berjalan

Macul,14 Maret07
***

Mandi secara harafiah berarti upaya seseorang untuk menyegarkan badan sekaligus membersihkan badannya dari berbagai jenis kotoran. Kenapa mandi, karena dalam puisi ini, secara implisit memperlihatkan upaya seseorang untuk membersihkan dirinya dari berbagai kotoran itu kotoran yang melekat di badan dan maupun kotoran jiwanya. Lihat bait-bait berikut: Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua/ Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup/ penat disini bisa dikiaskan sebagai dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan kesadaran ini diperoleh setelah menyaksikan kematian /Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari/. Setelah melihat bagaimana seorang hamba tak berdaya menghadapi maut, menghadapi takdir kematian. Setelah melihat betapa tak bisa apa-apanya sebuah kerangka manusia selain pasrah pada tanah kuburan.

Dalam ajaran Agama Islam, mandi memiliki makna membersihkan diri dari hadas/najis, baik najis besar maupun najis kecil. Jika perpijak pada dua bait berikut: Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti/Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan/ maka mandi yang dimaksudkan si penyair dapat disebut sebagai upaya untuk membersihkan diri dari berbagai dosa karena usia yang semakin menua sebagaimana dikiaskan sebagai Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip.

Apa yang bisa saya simpulkan dari puisi yang coba saya hayati adalah sebentuk upaya membersihkan diri atau semacam cuci dosa. Dalam puisi ini sang penyair berupaya membersihkan disebabkan oleh dosa-dosanya di sepanjang usia sebagai makhluk yang berupaya dekat dengan Rabb, dengan Tuhan.

Memang tidak semua penyair menulis sajak untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, dalam puisi Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas sang penyair, hemat saya, tengah berusaha merapatkan diri pada hakikat keindahan, kebenaran, dan kejernihan.

Penyair yang kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran, tengah berusaha berjalan ke inti kehidupan, kepada Tuhan.

Meskipun sang penyair sadar bahwa setelah pemandian, pensucian dan pertobatan, dosa-dosanya belum habis terkikis. Ini dikiaskan kembali dalam Ritual mandinya belum tuntas/Kulit kaki belum lepas. Karena sebagai makhluk yang lemah, sebagai manusia yang doif, ia selalu dengan sangat gampang tergelincir untuk berbuat dosa. Sangat gampang untuk ditaklukkan kembali oleh nafsu dan setan.

Sang penyair juga terpaku pada ketersadaran bahwa hari esok masih harus terus iya jalani sebelum ajal menjemput, sebagaimana di sampaikan pada bait penutup. /Nanti malam masih dipakainya berjalan. Namun sayang ia tak tak memintal doa-doa sebagai bekal untuk melangkah.

Entah berjalan kemana kita sesungguhnya sama-sama tak tahu. Hanya sang penyair yang mengerti hendak kemana nasib akan dibawa. Entah menuju ke langit dengan wajah selembut bidadari atau menuju neraka dengan wajah sehitam iblis.

Wallahu a'lam bis Shawab.
Serambi Mekah, Jumat 24 Januari 2008

Di culik dari Http://perkosakata2008.blogspot.com

Thursday, January 24, 2008

Resensi Puisi 'Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas'

Perkosakata2008

Oleh Nanang Suryadi

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Sajak ini berjudul: Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas. Dari judulnya, penulis menggiring pembaca untuk masuk ke dalam sebuah dongeng atau cerita. Sesuai dengan judulnya, sajak ini memang bercerita. Penulis menarasikan tentang suatu kejadian, yaitu tentang ritual mandi. Mengapa mandi menjadi suatu ritual? Jika ritual diterjemahkan sebagai suatu hal yang wajib dan rutin dilakukan dengan urut-urutan yang sama, mungkin memang dapat dikatakan bahwa mandi merupakan ritual bagi seseorang. Mari kita simak sajak Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakai jalan

Macul,14 Maret07

Dalam sajak ini siapa subyeknya? Pada baris pertama, hanya muncul “kulit lusuh”. Apakah “kulit lusuh” sudah mencukupi, sepertinya tidak. Mungkin, akan lebih baik jika dimunculkan “subyek” yang memiliki “kulit lusuh” ini, di awal sajak. Karena akan menjadi ganjil ketika sang subyek alias “ Ia” muncul tiba-tiba di baris kedua dan baris ketiga. Secara teknis, susunan kalimat atau frasa masih perlu diperbaiki. Misalnya kalimat: Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari. Apa yang kurang dari kalimat ini? Mungkin pembaca dapat menunjukkannya jika melihat dengan menggunakan kadiah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menurut saya, sajak ini dapat menjadi lebih bagus lagi, jika penulisnya mau mencoba untuk masuk ke dalam sajaknya tersebut dan membuang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Saya sangat menghargai kemauan penulisnya untuk mencoba menciptakan frasa-frasa unik, misalnya: “keringat tersimpan rapi”, “siku hidup” Permainan bunyi juga sudah terasa, misalnya: “penat terlihat” namun masih kurang dikembangkan.

Begitulah kesan saya pada sajak ini.