Thursday, November 22, 2007

Enam Tahap Mengakrabi Puisi

[Ruang Renung # 175] Enam Tahap Mengakrabi Puisi
Tanggal: Wednesday, 14 February 2007
Topik: Esai Sastra


Oleh: Hasan Aspahani

1. Tahap Tahu Puisi. Ini tahap awam. Sebagian besar orang berada pada tahap ini. Sebagian besar orang pernah membaca satu dua bait atau satu dua puisi. Paling tidak orang bertemu puisi dalam pelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Orang yang tahu puisi, bukan orang yang peduli pada puisi. Ia bisa hidup nyaman-nyaman saja tanpa puisi. Dia dan puisi adalah dua orang tak saling kenal yang kalau bertemu tak perlu harus menggelar perbincangan, bahkan mungkin tak perlu bersapaan.

2. Tahap Kenal Puisi. Orang yang kenal puisi mulai sering membaca - bukan meresitalkan - puisi, meskipun tidak rutin. Dia ingat beberapa nama penyair dan puisinya. Dia suka menuliskan puisi sendiri, untuk diri sendiri, atau untuk orang-orang terdekatnya saja. Puisi baginya seperti ibadah sunat, dikerjakan dapat nikmat, tidak dikerjakan tidak berkurang nikmatnya. Dia dan puisi seperti kawan yang saling sapa dan menjabat tangan kalau bertemu. Saling bertanya kabar, meskipun kadang hanya tanya berbasa-basi.

3. Tahap Perlu Puisi. Pada tahap ini seseorang mulai menganggap puisi sebagai kebutuhan. Dia rutin menulis dan membaca puisi. Dia mengoleksi buku puisi. Dia ingin tahu lebih banyak tentang hakikat puisi. Dia mulai bisa merasakan mana puisi bagus, dan mana puisi buruk, dan bisa menunujukkan keunggulan dan kelemahan puisi itu. Dia menulis puisi dan mulai peduli apa pendapat orang tentang puisinya. Dia menikmati penulisan puisi itu. Dia butuh menulis puisi. Puisi ibarat orang yang dia taksir dan ingin dia pacari. Dia belum menyatakan cintanya, tapi dia ingin tahu banyak dan seperti terseret untuk lebih dekat, lebih banyak kenal.

4. Tahap Mahir Puisi. Pada tahap ini, orang sudah percaya diri menunjukkan puisinya pada orang lain. Puisinya tersiar di beberapa terbitan. Puisinya tergabung pada beberapa antologi. Dia telah menerbitkan puisi. Dia suka memperhatikan puisi-puisi orang lain, untuk menambah akemahirannya berpuisi. Dia suka meresitalkan puisinya atau puisi orang lain. Dia mulai tahu bagaimana puisi yang baik dan terus menerus ingin memperbaiki puisinya. Secara teknis dia tak bermasalah lagi dengan puisi. Dia telah membuka diri bahwa dia telah menjalin hubungan khusus dengan puisi. Dia telah memacari puisi.

5. Tahap Cinta Puisi. Dia telah menemukan dirinya dalam puisi. Dia mencintai puisi seperti mencintai dirinya. Dia menghargai dirinya dengan lebih baik, sebaik dia menghargai puisinya dan puisi lain yang ditulis orang lain. Dia menulis puisi untuk meyakinkan bahwa dirinya berharga untuk terus ada. Dia ingin orang lain membaca puisinya seperti orang membaca dirinya. Dia bisa membuat orang menghargai puisinya seperti menghargai dirinya. Dia membaca puisi orang lain dan dengan nyaman juga seperti bertemu bagian-bagian dari dirinya ada dalam puisi itu. Dia seperti telah menikahi puisi. Dia berumah tangga dan membangun kehidupan yang berbahagia dengan puisi.

6. Tahap Arif Puisi. Ini tahap tertinggi. Orang yang sudah mencapai kearifan berpuisi. Dia tak ada beban lagi harus menulis puisi atau tidak, tapi dia terus saja menulis puisi sebagai laku hidup, seperti bernapas. Puisi itu penting buatnya tapi dia melakukannya tanpa beban apa-apa. Dia tak ingin mencapai apa-apa lagi lewat puisi karena dia telah mencapai Puisi. Dia seperti telah memahami hakikat yang Mahapuisi. Menyebut namanya, orang langsung mengingat puisi-puisinya. Dia sendiri telah menjelma menjadi semacam puisi juga. Menyebut puisi, orang bahkan dengan mudah jadi teringat pada dia juga.





Friday, September 14, 2007

Ketika Puisi menjadi Cermin

catatan setelah membaca beberapa puisi
Oleh Dedy T Riyadi

hitamkah pagi tuan?
saat bayanganmu memanjang,
mengikuti dengusmu
di tulang mana kau lencangkan bakti?
tak nampakpun derapnya,apalagi derunya



: mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan

(Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH)

Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris.

Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menjadi puisi cinta, puisi religi, atau puisi protes sosial, dan bahkan puisi yang dihubung-hubungkan dengan ideologi dari si penyairnya itu. Jika pada hakikatnya puisi adalah hasil permenungan pribadi, tak ayal puisi telah menjadi cermin dari kepribadian si penyair. Misalnya ketika membaca sajak berikut ;

kita hanyalah rumpun ilalang
pada akar kita menumpang hidup
(Kepada Kering – Pakcik Achmad)

dengan prinsip puisi sebagai cermin kita bisa menduga bahwa si penyair adalah orang yang jeli dalam melihat sesuatu. Tak mungkin akar ilalang muncul begitu saja tanpa pengamatan dan permenungan yang dalam. Ilalang adalah rumput yang sukar untuk diberantas pertumbuhannya karena kemampuan akarnya yang tahan pada cuaca dan kondisi ekstrem. Apalagi ternyata setelah saya berbincang dengan penyairnya, dia mengatakan ilalang itu bisa tumbuh dengan hara yang sangat minim. Dan sajak-sajak Pakcik Achmad yang lainnya juga mencerminkan hal yang sama; kejelian menangkap esensi dari sesuatu. Seperti sajak ini;

kusibak enam,
: satu kulambung –
lima kuserak

kuhimpun enam,
: satu kutangkap –
limaku terserak

(Serimbang – Pakcik Achmad)

Serimbang adalah permainan tradisional masa kecil. Mirip dengan permainan bola bekel hanya tak menggunakan bola. Permainan yang mengandalkan keahlian tangan untuk menangkap dan menyebarkan bebijian / bebatuan. Tinggal tergantung pembaca untuk memaknai apakah yang dimaksud dengan biji/batu yang diserak-himpunkan oleh si aku liris dalam puisi ini. Nasibkah? Pe-kerjaankah? Silakan menerka.

Pun kita merasa diajak mencari sebuah kekosongan yang dialami penyair seperti Gita dengan mem-baca suasana pada salah satu puisinya ;

Ladang gersang

Dan kau, ilalang
Tiba tiba hilang

Malam terang

Dan aku, bintang
Dengan mata nyalang

: Mencari

(Yang Hilang – Gita Pratama)

Si aku-liris jelas sekali telah berusaha maksimal mencari keberadaan si dia-liris yang diibaratkan dengan rumpun ilalang di ladang gersang yang tiba-tiba menghilang. Dan dengan setianya si aku-liris menunggu walau sudah malam. Dan usahanya terasa maksimal ketika si aku-liris menjadi sebuah bintang yang terang hanya untuk mencari dia-liris yang hilang.

Akan tetapi mengibaratkan sebagai cermin untuk menduga-duga makna sebuah puisi terasa tidak maksimal ketika menjumpai puisi-puisi seperti ini ;

Rumah berkulit megah dan berkelamin
gerigi baja itu - di setiap uratnya berdaging kaca -
terukir mantra-mantra pengikat tujuh wujud kematian yang
ditakuti kehidupan. Adalah kebebasan akan terjadi
dari sana (diatas perbudakan sisa jiwa
terkurung). Empat nafas terjebak di kemegahan itu, meronta
dalam pelarian dibalik jeruji kematian. Menyadar
diri dirajam purnarupa paruh ajal, empat
nafas melacur hati demi penghancuran malapetaka dunianya.

(Empat Nafas – Leonowens SP)

Saya tidak membayangkan melihat sebuah rumah dengan bentuk yang aneh (yang punya kulit juga punya kelamin bergerigi baja, bahkan berurat daging kaca) yang dijagai oleh mantra-mantra suci untuk mengikat kematian, di mana ada empat orang (empat nafas) yang terjebak dan ingin lari. Dalam puisi-puisi seperti ini, saya hanya mencoba merasakan bahwa ada semacam keputusasaan yang dirasakan oleh si aku-liris yang diimajikan sebagai empat nafas sehingga si aku-liris harus melakukan hal yang bertentangan dengan jiwanya.

Oleh karena puisi dapat difungsikan sebagai cermin bagi pembaca untuk meneroka sampai pada pribadi penyair, apakah sebaiknya penyair mulai tekun untuk membuat baik dirinya maupun pesan dalam puisinya tidak transparan? Atau jika ada yang berpendapat tak perlu berindah-indah menyampaikan pesan seperti puisi-puisi yang beraliran realis, maka kita sebagai pembaca tak perlu repot-repot menggunakan cermin, tinggal kita lihat penyairnya; “Sudahkah dia rapi seperti puisinya?”

Jakarta, 14 September 2007.
http://toko-sepatu.blogspot.com/

Thursday, September 13, 2007

Kegagapan Calon Penyair oleh Hasan Aspahani

[Ruang Renung # 229] Kegagapan Calon Penyair
Ada surat pembaca di majalah Gong No. 93 Agustus 2007. Surat itu saya kira cukup mengharukan. Si pengirim Dadang Ari Murtono dari Komunitas Sastra Pondok Kopi, Mojokerto.

Surat pembaca itu begini, kita kutip seutuhnya:
Sebagai seorang penyair muda atau lebih tepatnya calon penyair, saya sering mendengar tentang Makalah Gong dari penyair-penyair yang lebih senior dan saat ini ketika ruang sastra di koran-koran minggu dan majalah-majalah sastra dipenuhi puisi "gelap" atau beraliran "goenawan" dan tidak memberikan sedikitpun tempat bagi puisi protes atau genre puisi selain puisi lirik/suasana, maka harapan saya sebagai pembaca, Majalah Gong bisa memberikan kesempatan kepada puisi-puisi yang "terpinggirkan" tersebut sehingga bisa menjadi penyimbang bagi lembar sastra media-media besar lainnya. Demikian semoga Majalah Gong semakin suskses. Terima kasih.

1. Penyair Agus R Sarjono pernah bilang, kalau ingin tahu kualitas penyair, maka lihatlah tulisannya selain puisi. Eseinya atau prosanya. Kalau eseinya bagus, ada harapan ia menulis puisi yang bagus. Penyair yang bagus, katanya, adalah penulis esei yang bagus. Bila surat pendek ini kita anggap sebagai esei pendek, maka sungguh ini bukan sebuah esei yang baik. Surat ini hanya terdiri dari tiga kalimat. Satu kalimat panjang sekali, terdiri atas 77 kata. Kalimat lain hanya terdiri atas enam dan dua kata. Repot sekali mengikuti apa maunya kalimat panjang yang pertama itu. Mestinya kalimat itu bisa dipenggal menjadi lima atau enam kalimat yang lebih nyaman dibaca dan ditangkap isinya.

2. Dengan mengesampingkan kekalutan kalimat panjang itu, maka yang mengharukan adalah ternyata di Mojokerto, dan di mana-mana saya rasa, di Indonesia ini, banyaklah anak muda seperti Dadang Ari Murtono (ia lahir tahun 1984). Anak muda yang menggerakkan komunitas sastra dan dengan sadar - mungkin juga bangga - menyebut diri penyair muda atau calon penyair. Ada sejumlah risiko dalam penyebutan itu. Saya kira Dadang asyik saja dengan sebutan itu, tanpa terlalu memperhitungkan apa risikonya.

3. Dadang dan mungkin banyak penyair muda lainnya, gampang dihinggapi wasangka. Wasangka Dadang di surat ini adalah 'ruang sastra di koran-koran minggu dipenuhi oleh sajak "gelap". Lebih menarik lagi ia mengataukan "Sajak gelap" itu sebagai "sajak beralirah goenawan". Yang dia maksud mungkin sajak-sajak Goenawan Mohamad. Benarkah?

4. Karena tuduhan di butir ketiga tadi, maka Dadang lantas menyimpulkan bahwa tidak ada tempat lagi untuk "sajak protes" atau sajak lain selain "sajak lirik/sajak suasana".

5. Akibatnya dari butir ketiga dan keempat tadi, maka ada ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan apa? Saya tak tahu pasti, tapi Dadang berharap Majalah Gong bisa menjadi penyimbang itu. Mungkin ketidakseimbangan yang ia maksud adalah keragaman gaya-gaya sajak.

6. Di majalah yang sama Majalah Gong memuat tiga sajak Dadang. Sajak-sajaknya tertulis dipersembahkan untuk alrmarhum anaknya. Dan sajak-sajaknya bukanlah sajak-sajak protes! Kalau memakai tuduhan-tuduhannya di suratnya di atas, maka sajak-sajaknya tadi menurut saya adalah "sajak lirik" atau "sajak suasana" atau "sajak aliran goenawan" dan dengan demikian juga adalah "sajak gelap".

Ah anak muda, ah penyair muda, ah calon penyair, jangan gagaplah. Jadilah penulis esei yang baik - mulailah dengan menulis surat pembaca yang baik - dan mulailah berhitung risiko setelah Anda berani menyebut diri sebagai calon penyair atau penyair muda.




Hak cipta pada hasan aspahani

Sunday, April 22, 2007

Enam Diktum Goenawan

Pasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi.
Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya
dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada
orang lain, pembacanya.

Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang
mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan
suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya
bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada
dalam komunikasi.

Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh
pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan
atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang
tidak pantas dihargai.

Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah
ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba
terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan
penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya
bagi dirinya sendiri.

Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja
membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak
adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi
dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi
percaya pada dirinya sendiri.

Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara
"kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan
"tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca",
tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.

* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi"
tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan
Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.

Monday, April 16, 2007

[Ruang Renung # 190] Mengisi Hidup, Menjaring Inspirasi

DARI mana datangnya inspirasi untuk sebuah puisi? Bagaimana mendapatkan inspirasi? Inspirasi itu harus ditunggu atau diburu? Kenapa seringkali kalau diburu-buru inspirasi malah mati? Kenapa banyak peristiwa hebat dan unik tidak menggerakkan seseorang menulis puisi? Kenapa ketika seseorang sudah bersiap dengan komputer aktif dan tangan siaga di papan ketik, eh puisi tak juga tercipta karena inspirasi tak datang-datang juga? Inspirasi puisi itu berasal dari rasa hati atau dari nalar pikiran?

Apakah hidup yang rutin harus dilabrak agar inspirasi mengalir? Apakah penyair harus menjadi bengal agar dari kebengalan lakunya itu ia mendapatkan inspirasi? Atau penyair harus merenung sendiri, menyepi menjauh dari kehidupan? Apakah penyair harus menghindari keteraturan hidup? Apakah kemoratmaritan hidup adalah lahar subur bagi inspirasi?

Saya tidak bisa tidak kecuali setuju saja dengan apa yang dipaparkan oleh W.S. Rendra. Soalnya, kata beliau, bukan bagaimana mencari inspirasi itu, tapi bagaimana pengarang harus membuat hidupnya berisi, sehingga ia akan selalu kaya akan rangsangan-rangsangan untuk membuat karangan-karangan. "Ia harus selalu berhadapan dengan masalah," kata Rendra.

Ya, saya sepenuhnya setuju pada Tuan Rendra. Buatlah hidup kita berisi, dan kita harus senantitasa berhadapan dengan masalah. Itulah kuncinya. Kita tidak mencari masalah, sebab hidup toh selalu bermasalah. Menghadapi masalah, berarti menyadari bahwa masalah itu ada dalam hidup kita. Kita tidak perlu menghindarinya, kita tidak boleh mengabaikannya, kita jangan pura-pura melupakannya. Tapi kita juga tidak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah.

Ya, hadapilah masalah. Dengan gagah tapi tidak dengan pongah. Dengan begitu, hidup kita akan berisi. Terus-menerus terbaharui. Dari kehidupan yang penuh dan membaru itu, kita menjadi kaya dan rangsangan untuk membuat karangan: puisi-puisi dan kisah-kisah, terus mengada. Terus mengada, tapi tidak mengada-ada.

hasan aspahani

Wednesday, January 31, 2007

Kepaduan Teks Puisi (Koherensi) oleh Hasan aspahani

/1/

KEPADUAN teks puisi, juga yang bukan puisi, bisa ditilik dari kohesi dan koherensi pada teks tersebut. Yang pertama melihat kepaduan unsur-unsur di dalam teks itu sendiri, yang kedua melihat hubungan antara teks dengan faktor di luar teks tersebut. Sebuah teks tidak koheren apabila tidak ada keberterimaan dalam teks tersebut. Keberterimaan itu ditentukan oleh pengetahuan bersama (shared-knowledge) di luar teks yang disebut konteks bersama (shared-context). Ketika mengutak-atik koherensi di dalam puisinya, penyair benar-benar diuji.


/2/

Jika koherensi ini menjadi pertimbangan ketika menulis puisi, maka penyair sebenarnya adalah orang yang sadar dan pandai mengukur seberapa banyakkah pengetahuannya dan pengetahuan orang yang kelak membaca puisinya berada dalam wilayah "bersama". Penyair boleh sesekali merendah, tapi tidak harus selalu merendah, apalagi sampai menganggap pembacanya berpengetahuan miskin alias tak sekaya pengetahuan yang ia miliki. Wilayah pengetahuan bersama itu abstrak. Di situlah asyiknya puisi, yaitu ketika penyair mengepas-ngepaskan di mana letak puisinya di wilayah "pengetahuan bersama" itu.

/3/

Penyair seringkali menantang pembaca puisinya untuk masuk ke wilayah pengetahuan bersama yang ia tawarkan. Ada pembaca yang menolak untuk masuk ke tawaran wilayah baru itu, ada pembaca yang sukarela melibatkan diri, ada pembaca ikhlas menerima, ada pembaca yang menciptakan wilayah sendiri yang bukan wilayah yang dimaksudkan oleh penyair. Pembaca adalah pencipta koherensi sendiri pada teks puisi yang ia hadapi. Bebas saja.

/4/

Tapi jangan terlalu asyik pada permainan koherensi itu saja. Ini permainan. Penyair boleh menciptakan sajak yang seakan-akan abai pada koherensi. Sesekali, ya sesekali, penyair boleh saja berakrobat kata-kata. Melompat keluar masuk dari wilayah "pengetahuan bersama". Sesekali, ya sesekali, apa salahnya berakrobat? Barangkali dari akrobat itu terpicu imajinasi yang lebih liar untuk sajak-sajaknya berikutnya. Tapi, jangan akrobat itu langsung disodorkan kepada pembaca, apalagi pembaca dipaksa untuk menerima itu sebagai sebuah keberhasilan atau penemuan pengucapan baru. Pada saat penyair menyodorkan hasil percobaan pengucapannya kepada pembaca dia mestinya sudah yakin bahwa memang ada sesuatu yang berharga untuk ditempatkan di wilayah bersama. Mungkin sesuatu yang baru itu makan waktu untuk diterima. Tak apa-apa.

/5/

Selain pengetahuan bersama, ada hal lain di luar bahasan linguistik yang khas pada puisi, yaitu wilayah perasaan yang sama. Tepatnya: serupa tapi tak sama, sebab tidak pernah ada perasaan yang persis sama. Penyair dalam sajak-sajaknya berusaha menggenerikkan perasaaannya yang khas. Bila upaya itu berhasil, maka pembaca kemudian bisa dan ikhlas mengidentikkan perasaannya yang juga khas kepada apa yang sudah digenerikkan oleh penyair itu.

/6/

Ketika menulis sajak "Pada Album Miguel De Covarobias" dan sajak "Untuk Frida Kahlo", saya kira penyair Goenawan Mohamad tidak mempertimbangkan apakah pembacanya tahu siapakah tokoh yang namanya ia jadikan judul itu sajak. Dia pasti tidak peduli apakah pengetahuannya itu berada di wilayah bersama dengan pengetahuan pembaca sajak-sajaknya. Saya sendiri yakin si penyair punya pengetahuan banyak tentang nama yang ia tulis.

Pasti ada yang memukau dari nama itu sehingga ia sajakkan. Covarobias adalah seorang traveler Meksiko yang menulis tentang buku Bali dan kemudian membuat Bali masyhur dalam khazanah pelancongan dunia. Kahlo adalah pelukis wanita beraliran surealis yang juga berasal dari Meksiko. Bergunakah pengetahuan itu ketika membaca sajak tersebut? Dengan mengambil contoh dua sajak diatas, jawabannya bisa ya, bisa tidak. Bisa digunakan, bisa tidak. Dia bisa menjadi konteks yang mengikat, dia bisa juga dilepaskan untuk dicarikan konteks lain.

/7/

Ada pembaca yang rajin berburu konteks pada teks-teks puisi-puisi penyair yang mereka baca. Jika mereka tak menemukan konteks yang mereka butuhkan - dengan kata lain pembaca itu tidak bisa memberi makna yang memadai, dan tidak bisa mengambil manfaat dari sajak itu - maka mereka menjatuhkan vonis mati kepada sajak yang mereka baca, atau bahkan pada penyair yang menulis sajak itu. Itu risiko menyair. Hadapi saja. Ketika dibunuh oleh sekelompok pembaca, bukankah penyair dan sajak-sajaknya mungkin diberi tempat yang nyaman oleh sekelompok pembaca lain? Penyair bahkan disebut-sebut telah mati di hadapan sajaknya sendiri, setelah ia selesai melahirkan sajak itu, bukan? Mati di hadapan sebuah sajak, penyair tetap hidup untuk melahirkan sajak berikutnya.

/8/

Soal manfaat sajak - dan karya sastra umumnya - sudah lama menjadi bahan kajian dan debat. Horatio menulis buku "Ars Poetica" pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah "dulce" atau nikmat, dan "utile" alias bermanfaat. Mana yang lebih penting antara keduanya? Itu menarik untuk dipermainkan. Kedua hal itu bisa pula ditarik ke ranah yang lebih luas. "Utile" berlanjut pada debat yang moralis, "dulce" bisa diseret ke ranah estetis. Sedang apakah manfaat dan apakah indah sendiri sudah bisa memancing sebuah debat panjang dan tak habis-habis. Saya kira penyair tak perlu terlalu pusing. Ia lebih baik menyibukkan diri dengan menerjemahkan apakah yang "dulce" dan "utile" itu dengan sajak-sajaknya.

/9/

Penyair Subagio Sastrowardoyo ada menulis sajak yang amat bagus tentang peran penyair dan tuntutan "utile" pada sajak-sajaknya. Sajak "Mata Penyair" itu dibuka dengan bait: //Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."// Penyair memang sering mengambil peran sebagai orang yang ambil risau. Ia risau bahkan risau pada peran dan posisinya sendiri. Ia risa pada tuntutan-tuntutan pihak luar yang dialamatkan padanya.

/10/

Sajak "Mata Penyair" Subagio Sastrowardoyo menggambarkan adegan rakyat miskin yang merangsak kemuka. Kami ingin matamu, kata rakyat miskin itu kepada penyair. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butur pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Tuntutan yang mencemaskan. Wajar jika penyair dalam sajak itu mencamtumkan pembelaan bahwa tanpa mata penyair menjadi buta. Tapi rakyat yang putus asa tak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya. "Dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya..." Tapi tak terjadi perubahan. Pasir tetap pasir bukan emas. Rakyat miskin kecewa dan merebut kedua bola mata itu dan melahapnya. Setelah itu? Juga tidak terjadi apa-apa.

/11/

Dari wilayah pengetahuan bersama, dari daerah kerisauan bersama, penyair memberangkatkan teks sajak-sajaknya. Dari wilayah itu pula datang tuntutan kepada penyair. Tak usah mengelak, tak perlu pula sok hebat melayani tuntutan itu seakan pasti kita bisa memenuhinya. Sebaiknya berperanlah sebagai penyair buta sebagaimana digambarkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya "Mata Penyair" tadi. Penyair telah menyerahkan matanya, memenuhi tuntutan "rakyat miskin". Tak terjadi apa-apa. Dan sajak itu lalu menggambarkan: "Penyair yang buta duduk di jendela dan tertawa menghadap kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!"

Bacaan:

1. Mohamad, Goenawan. "Misalkan Kita di Sarajevo". Cetakan Pertama, 1998. Jakarta: Penerbit Kalam.

2. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 100-101. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

3. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 78. 2005. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

4. Sastrowardoyo, Subagio. "Dan Kematian Makin Akrab". Halaman 133. 1995. Jakarta: PT Grasindo.