tag:blogger.com,1999:blog-70277042856631311122023-11-15T06:14:49.831-08:00Ruang BelajarGita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.comBlogger22125tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-48414870769198953632021-06-01T20:43:00.000-07:002021-06-01T20:43:42.200-07:00 Anton Chekhov, Maestro Cerpen Modern<p><span style="background-color: white; color: #050505; font-family: inherit; font-size: 15px; white-space: pre-wrap;">Oleh. A.S. Laksana</span></p><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">"Jika kita menggantungkan senapan di dinding pada babak pertama, senapan itu harus meletus pada babak terakhir."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Anton Pavlovich Chekhov, penulis yang dianggap jenius oleh Leo Tolstoy, menyampaikan pernyataan itu pada usia 20-an--ia lahir pada 1860--dan prinsip "senapan Chekhov" itu menjadi dalil yang sampai sekarang masih disampaikan dalam kelas-kelas penulisan fiksi. Chekhov maestro dalam penulisan cerita pendek. Ia menulis ketat dan prinsip senapannya itu ia sampaikan untuk mengingatkan bahwa seluruh elemen di dalam penceritaan harus punya fungsi, tiap-tiap detail harus punya kontribusi dalam keseluruhan cerita.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Tentu bukan berarti bahwa jika di halaman 12 kita menggambarkan seseorang melihat kapal di pelabuhan, di halaman 25 atau 103 kapal itu akan karam. Kapal di pelabuhan adalah hal yang lumrah; senapan di dinding menyiratkan situasi istimewa, tidak setiap dinding rumah digantungi senapan. Karena itu, tidak ada gunanya kita menggambarkan situasi istimewa jika ia tidak berfungsi.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Dilahirkan dan dibesarkan di Taganrog, kota pelabuhan di wilayah selatan Rusia, ia menjalani masa kanak-kanaknya dalam situasi serba sulit. Anton anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya, Pavel, seorang Kristen Ortodoks, jemaat yang taat, pemimpin paduan suara paroki, dan pedagang kelontong yang memperlakukan anak-istri dalam cara yang keras dan melemahkan mereka. Klimaks dari semua itu adalah bangkrutnya toko kelontong Pavel dan terbenamnya keluarga ke kubangan kemiskinan dan kekacauan emosional.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Banyak orang percaya saat ini bahwa inspirasi bagi cerita-cerita Chekhov yang bertema kemunafikan tidak lain adalah ayahnya sendiri.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Anton beruntung bahwa ibunya pendongeng yang memikat. Kesukaan Yevgeniya mendongeng, termasuk menceritakan masa kecilnya, mengobarkan hasrat Anton untuk menulis cerita sendiri. Selain satu keberuntungan itu, semua urusan buram belaka dan Anton harus bekerja serabutan agar tetap bisa sekolah. Ia mengajar les, menangkap burung dan menjualnya, dan menulis cerita.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Pada usia delapan belas, setahun sebelum masuk sekolah kedokteran di Universitas Moskow, Anton menyelesaikan naskah drama pertamanya, tanpa judul, naskah yang nantinya terbit anumerta dengan judul "Platonov". Bagian selanjutnya adalah sejarah; ia menulis dan menjadi dokter dan menghasilkan lebih dari 500 karya: cerpen, novel, dan naskah drama. "Kedokteran adalah istri pertama saya," katanya, "kesastraan adalah gundik saya."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Dan si gundik itulah yang memberinya rezeki dan membuatnya abadi. Profesi kedokteran, yang ia sebut istri pertamanya, hanya mendekatkannya kepada sumber inspirasi; sebagai dokter ia lebih banyak bekerja untuk orang-orang miskin dengan biaya penanganan dan pengobatan gratis. Maka, ia harus mendapatkan uang dengan cara lain dan untuk itu ia menulis dan ia sudah melakukannya dengan menulis cerita pendek sejak tahun pertama kuliah. Jika ada uang lebih, ia mengirimkannya kepada ibunya untuk membantu keluarga. Selama masa kuliah ini pula ia membaca banyak buku karya penulis terkenal, di antaranya Miguel de Cervantes dan Arthur Schopenhauer.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Pada 1886, salah satu surat kabar paling terkenal di Rusia, New Times, memintanya menulis cerita dan ia memenuhi permintaan dan pada saat inilah si jenius menemukan momentumnya. Seorang penulis ternama Rusia waktu itu, Dmitry Grigorovich, membaca cerita pendeknya di koran itu "The Huntsman" dan memuji bakat literer Anton dan orisinalitas karyanya. Di bawah bimbingan Dmitry, Anton kemudian menerbitkan kumpulan cerita pendek "At Dusk," yang membawanya memenangi penghargaan bergengsi Pushkin Prize pada 1888, pada usia dua puluh delapan.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Tahun-tahun berikutnya adalah periode pematangan. Chekhov menulis banyak karya terbaiknya dari 1890-an hingga beberapa tahun terakhir hidupnya. Dalam karya-karya puncaknya, termasuk cerpen "Ward No. 6" dan "The Lady with the Dog", ia menyajikan pemahaman mendalam tentang watak manusia dan bagaimana peristiwa biasa menyimpan pergolakan di bawah permukaannya.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Pada fase ini ia menaruh perhatian pada mood dan karakter dan menggarap penokohan melebihi plot. Cerita-cerita terbaiknya menunjukkan bahwa suasana hati dan karakter bisa lebih penting daripada plot. Tak banyak peristiwa eksternal yang dialami oleh karakter-karakter yang kesepian dan putus asa, misalnya, tetapi konflik batin mereka menjadi sangat penting bagi cerita. Kisah mereka spesifik, berlangsung dalam setting waktu dan tempat yang spesifik, dan melukiskan gambaran yang spesifik, ialah masyarakat Rusia pra-revolusi, namun, sebagaimana halnya dengan semua cerita yang baik, mereka tak usang oleh waktu dan daya pikatnya menerabas batas-batas geografis, sosial, dan kultural. Dengan kata lain, mereka universal.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Namun grafik naik dan kematangannya dalam sastra berjalan beriring dengan grafik turun dalam kesehatan fisiknya. Pada 1897, ia jatuh sakit dan melemah oleh tuberkulosa; ia batuk darah dan dokter menyarankannya mengubah gaya hidup agar menjadi lebih sehat. Ia kemudian berpindah ke Yalta dan membeli rumah di sana dan melahirkan beberapa cerita yang paling terkenal di tempat baru ini, termasuk "The Lady with The Dog".</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Tak berlama-lama menikmati ketenteraman Yalta, pada 1890 ia pergi ke Pulau Sakhalin, sebuah koloni hukuman (gulag), dan berbicara dengan banyak tahanan dan menjadi marah mendapati mereka diperlakukan sangat buruk: Para narapidana sering dipukuli dan di sana ada juga anak-anak. Ia menulis buku "The Island of Sakhalin" setelah kunjungan itu dan sebuah cerpen berjudul "The Murder."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Tampaknya tak mungkin bagi Anton untuk seterusnya mengubah gaya hidup mengikuti anjuran dokter. Ia kembali ke cara hidupnya semula. Ia membeli rumah dan tanah dekat Moskow bernama Melikhovo pada 1892 dan membantu orang-orang melarat yang tinggal di dekatnya. Ia membawakan untuk mereka makanan dan pakaian; ia juga memberi mereka obat-obatan saat mereka sakit. Ia seorang dokter, ia tahu bagaimana cara merawat mereka, dan ia melakukannya.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Saat di Melikhovo, ia mulai menulis drama berjudul "The Seagull" dan mengecewakan penonton dalam pementasan pertamanya. Kemudian, ia mementaskan lagi naskah itu bekerjasama dengan raksasa teater Rusia Constantin Stanislavski dan Teater Seni Moskow. Pertunjukan menjadi lebih baik dan ia melanjutkan kolaborasi dengan menulis naskah baru "Uncle Vanya", lalu dua naskah lainnya, "Three Sisters" dan "The Cherry Orchard". Keempat lakon tersebut masih sering dimainkan sampai sekarang dan dianggap karya terbaiknya oleh para pengamat, kecuali Leo Tolstoy. Tolstoy mengagumi cerpen-cerpen Chekhov, penulis yang lebih muda 32 tahun darinya, tetapi ia mengecam drama-dramanya. </div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Dalam sebuah buku yang terbit pada 2011, "Memories of Chekhov", ada pengakuan Peter Gnedich, novelis dan penulis naskah drama, tentang hal itu. Kepada Gnedich, Chekhov menceritakan perjalanannya mengunjungi Tolstoy di Gaspra. Si tua sedang terbaring sakit ketika Anton menjenguknya dan ketika ia hendak pamit pulang setelah cukup bercakap-cakap, Tolstoy mengatakan, "Beri aku ciuman selamat tinggal."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Chekhov membungkukkan badan dan Tolstoy mencium pipinya dan berbisik di telinganya, dalam suara tuanya yang masih bergelora: "Kamu tahu, aku benci drama-dramamu. Shakespeare penulis buruk, tetapi naskahmu bahkan lebih buruk daripada naskahnya."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Mereka sama tertawa. Tetapi Tolstoy bersungguh-sungguh dengan bisikannya. Ia menyayangi Chekhov dan menganggapnya jenius dalam penulisan prosa. Namun, mengenai drama, ia mengatakan bahwa penulis drama seharusnya membimbing penonton ke tempat yang ia maui. "Dan ke mana kamu membawaku? Karaktermu hanya duduk di sofa ruang tamu dan, kalaupun pergi, hanya ke belakang panggung."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Sejak itu ia selalu tersenyum sendiri sebab setiap kali memikirkan adegan, dan memikirkan di mana adegan akan berlangsung, ia seperti mendengar Tolstoy bertanya: Ke mana kamu membawaku? Kepada teman dekatnya Ivan Bunin, yang kelak menerima Nobel Sastra pada 1933, Chekhov mencoba menjelaskan kritik Tolstoy itu: "Aku sangat mengaguminya. Dan yang paling kukagumi dari Lev Nikolaevich adalah bahwa dia membenci kita semua; semua penulis. Mungkin penjelasan yang lebih akurat adalah dia memperlakukan kita, para penulis lain, sebagai ruang kosong saja. Dia memuji Maupassant, atau Kuprin, atau Semenov, atau saya sendiri. Tapi kenapa dia memuji? Sederhana saja: karena dia memandang kita sebagai kanak-kanak. Cerpen kita, atau bahkan novel kita, semuanya adalah karya anak-anak dibandingkan dengan karya-karyanya. Namun, Shakespeare… ia membenci dengan alasan berbeda. Shakespeare menyebalkan baginya karena dia penulis dewasa dan tidak menulis seperti cara Tolstoy."</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Kolaborasinya dengan Stanislavski sejak akhir 1890-an mempertemukan Anton dengan Olga Knipper, aktris Teater Seni Moskow, yang kemudian dinikahinya pada 1901, pada saat kondisi kesehatannya kian menurun. Saat situasinya makin buruk, mereka tinggal di sebuah resor kesehatan di Badenweiler, Jerman dan Chekhov meninggal di sana pada dinihari 15 Juli 1904, pada usia 44, dua tahun sebelum Tolstoy.</div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; color: #050505; font-family: inherit; font-size: 15px; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;">Anton Pavlovich Chekhov, maestro cerita pendek modern, orang yang menulis karena kesulitan hidup mengharuskannya menulis, oleh para pengamat dianggap salah satu tokoh sastra utama pada masanya. Dengan karya-karyanya ia menularkan pengaruh kepada sejumlah penulis penting dari berbagai genre, termasuk James Joyce, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, Tennessee Williams, dan Henry Miller. Dan kepada para pembelajar ia mewariskan "Chekhov's gun", sebuah senjata untuk membuat mereka menulis lebih baik.***</div><div dir="auto" style="animation-name: none !important; color: #050505; font-family: inherit; font-size: 15px; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><br /></div><div dir="auto" style="animation-name: none !important; color: #050505; font-family: inherit; font-size: 15px; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><br /></div><div dir="auto" style="animation-name: none !important; transition-property: none !important;">Klik di sini >>> <a href="https://www.facebook.com/aslaksana/posts/4067386916680587" target="_blank">Link Asli</a><br /></div><div dir="auto" style="animation-name: none !important; color: #050505; font-family: inherit; font-size: 15px; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><br /></div></div><div class="o9v6fnle cxmmr5t8 oygrvhab hcukyx3x c1et5uql ii04i59q" style="animation-name: none !important; background-color: white; color: #050505; font-family: "Segoe UI Historic", "Segoe UI", Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 15px; margin: 0.5em 0px 0px; overflow-wrap: break-word; transition-property: none !important; white-space: pre-wrap;"><div dir="auto" style="animation-name: none !important; font-family: inherit; transition-property: none !important;">Foto: Anton Chekov dan Leo Tolstoy</div></div>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-60100464452432307382012-09-22T08:16:00.002-07:002012-09-22T08:16:35.824-07:00Sedikit catatan tentang Tips menjadi bunglon<div style="text-align: justify;">
Terkadang kita tak pernah tahu, apa yang sudah kita kerjakan dalam sebuah tugas itu benar atau salah. Kita akan semakin mengerti setelah kesalahan-kesalahan menerpa berkali-kali. Tidak akan seratus persen benar. Ho..ho..hoo.. kesempuarnaan hanya milik Tuhan khan yaa? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada buku, ada peta, ada teriakan bos, ada saran senior. Tangkap.. lalu lemparkan sejauh mungkin. Maksud saya, apa yang bisa kita terima, silahkan diterima sebaik-baiknya, lalu terapkan sebaik-baiknya ketika kita berada dilapangan bola. eh maksudnya setelah lapangan itu dipotong rumputnya biar tidak menghalangi pemandangan (mo ngeliat cowok cakep maksudnya. hehehehe...)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari buku kita akan punya banyak referensi dan segala sesuatu yang mesti dan harus dikerjakan. Maka perbanyaklah membaca, maka amal perbuatan dilapangan akan dipertaruhkan. Siapa bilang, hanya bunglon yang bisa berubah-rubah warna. Kita, manusia juga bisa melakukannya asal ya itu tadi. Memperluas wawasan, melebarkan buka'an kuping kiri dan kanan (jangan dibuka bergantian). Yang terbiasa dibelakang meja juga bisa terjun dilapangan (asal ada kemauan, semua pasti bisa). You can learn if want to try. Gagal? itu biasa. Yang terpenting bagaimana selanjutnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku pernah menjadi seorang operator warnet, hem.. pekerjaan ini menyenangkan. Gaji pas-pasan tapi bisa disambi bermain dan belajar apa saja. Kemudian menjadi Crew sebuah event, atau menjadi Admin event para seniman, Pustakawan Perpustakaan Indie, Atau bergelar seorang Penyair (sekarang tinggal sejarah-kalau ada yang mencatat)) sampai Sekretaris dokter terkenal di surabaya (walau hanya 5 bulan). dan sekarang aku sudah berubah bentuk lagi menjadi staf di sebuah kantor bidang tour. (pekerjaan terakhir, paling cucok deh..).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan gelar SE-ku yang belum resmi, sedikit ilmu manajemen memang berguna. (walau banyak lupanya, yang aku suka memang mata kuliah kepemimpinan dan SDM). Tak terlalu punya keahlian dibidang tour, tapi aku harus belajar. Karena kapan lagi bisa mengunjungi kota-kota lain, gratisan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah 3 bulan yang lalu, menjadi kru membawa rombongan kawan-kawan wartawan dari semen gresik. Kebetulan minggu ini, ada 3 group di 3 Kota berbeda (dari Kaltim ke Jogja, dari Probolinggo ke batu, dan makassar, batam, surabaya ke Bali) Untuk ke Bali tugas diberikan kepadaku, karena ini group kecil maka aku diutus untuk berangkat sendiri membawa perusahaan properti terbesar di Surabaya. Pasti aku berharap hasil akhirnya mampu memuaskan banyak pihak. Aku sudah diutus untuk berangkat sehari sebelum klien <a href="http://www.padmatour.com/" target="_blank">Padma Tour and Organizer</a> kami datang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di hari pertama dalam Schedule sedikit ada masalah dengan check in hotel, karena h-1 tidak dapat menghubungi koordinator rombongan. Dan kebetulan hotel Grand Whizz ***++ Kuta bali yang kami tempati, sedang full booked. Jadi prepare untuk Cleaning Room terlambat, argg.... panik setengah mampus. Tidak ada yang bisa saya kerjakan, selain meminta maaf. Imbas dari CI terlambat, jadwal sehari menjadi molor satu jam. Meeting yang seharusnya selesai jam 18.00 molor. Lalu jadwal dinner juga jadi mundur. Untunglah kegiatan sehari ini terbayar dengan Dinner yang aduhai di tepi pantai Jimbaran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata siapa, semakin sedikit orang semakin mudah. Itu jelas Rumus yang salah dalam sebuah pekerjaan organizer. Justru akan semakin ribet bin ngelu, karena sudah pasti mereka akan lebih mudah menambah-nambah permintaan. Di luar schedule, sudah pasti kreatifitas kita dan pengetahuan tentang kota yang dituju dipergunakan maksimal. (OMG...) lalu gimana dong biar gak terlihat o'on. Pertama pasang tampang yakin, trus ngitung kancing-gk jauh beda kok dengan test multiple choice, gimana lagi kalau udah kepepet. Becandaa cung.. khan banyak informasi bisa di dapat di lapangan). Yah memang akan terseok-seok di belakang klien sih, kalau perlu sampe' ngesot. Tapi kasarnya lantai atau aspal pasti akan buatku belajar, untuk ke depan jangan sampai ngesot lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masih ada sisa satu hari lagi, untuk jalan-jalan kemudian kembali ke habtitat masing-masing. Semoga Sukses.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bali, 22 Sept 2012 </div>
Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-29375089122618956172009-06-25T08:34:00.000-07:002009-06-25T08:35:45.244-07:00Diary - Anne FrankEri Irawan<br /><br />(Sebab) kertas lebih sabar ketimbang manusia. Anne Frank menulis selarik kalimat itu di buku hariannya. Sebuah pasase yang pada awal kuliah sempat kucetak besar lalu kutempelkan di kamar pondokanku yang rudin.<br /><br />Saya sering memandangi tulisan itu sesaat setelah menulis di buku harian di malam-malam yang kadang sepi kadang teramat riuh.<br /><br />Dan Jumat malam itu, 5 Juni 2009, setelah melihat sekilas tayangan tentang Anne Frank di televisi kala berbincang bersama dua kolega baik di sebuah kafe di Surabaya, saya terhenyak. Saya tiba-tiba teringat buku harian Anne, bocah manis itu, yang pasti kini teronggok tak berdaya di rak buku saya di rumah.<br /><br />Ah, apa kabarmu, bocah manis?<br /><br />* * *<br /><br /> Ia datang bukan sebagai orator yang menggebu bicara kemanusiaan. Ia bukan panglima militer, ekonom, fisikawan, atau atlet legendaris. Tapi, bertahun-tahun sesudah kematiannya, orang ramai tetap tak pernah lupa: kisahnya terus terekam lewat buku dan film, pasase-pasase di buku hariannya lekat di ingatan.<br /><br /><br /><br />Tepat 12 Juni, 80 warsa silam, ia keluar dari rahim ibunya. Kita tahu, buku harian Anne menyita perhatian di seluruh penjuru dunia. Bahkan, bermula dari diary yang disapanya sebagai ”kitty” itulah nama Anne ditabalkan Time sebagai salah satu tokoh berpengaruh di abad ke-20, sebuah abad yang gemuruh oleh tragika dan baluran darah segar. Nama Anne masuk dalam kategori heroes dan icons, bersanding dengan banyak nama besar, seperti Bunda Teresa, Muhammad Ali, dan Che Guevara.<br /><br />Ia tiga belas tahun kala itu, 12 Juni 1942, saat kali pertama menulis buku harian. ”Aku berharap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya. Aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku,” tulisnya.<br /><br /> Anne memberi jalan benderang kepada kita untuk memahami betapa asyiknya menulis diary kendati ia berada dalam risau luar biasa akibat pembersihan warga Yahudi ketika Hitler masih berjaya. Ia menjadikan diary sebagai medium untuk memundaki derita dan kecemasan, sekaligus menampakkan keriangan menghadapi hidup.<br /><br /><br /><br />Anne tak mengawali proses penulisan buku hariannya dengan mudah. Ia jujur mengakui kesulitannya dalam awal mula menulis. Ia tak tahu apa kelak yang ia tulis itu berguna atau tidak.<br /><br />Tapi, Anne tak perlu menunggu jawaban terlalu lama tentang ”apakah kelak yang ia tulis berguna atau tidak?”, sebab ia sadar bahwa menulis diary adalah sebuah ikhtiar yang kelewat personal namun bermakna sosial ketika yang digoresnya adalah suara batin yang menghayati kemanusiaan.<br /><br />Maka, dia pun merasakan kenyamanan itu. Tak butuh lama sejak kali pertama menulis diary, Anne sudah merasakan betapa nikmatnya ”proses menulis”—bahkan jauh lebih nikmat ketika tulisan sudah rampung dan dibaca orang ramai.<br /><br />Ia menambahkan pada 28 September 1942 tentang nikmatnya ”proses menulis” dalam selarik kalimat yang tegas: aku merasa tidak sabar menunggu saat-saat untuk dapat berbagi cerita bersamamu.<br /><br /> Dan memang benar, bahwa menulis diary dengan jujur adalah terapi jiwa menghadapi idealitas dunia yang kian menjadi utopia.<br /><br /><br /><br />Anne menulis diary sejak usia tiga belas tahun. Tangannya terakhir kali menggores diary pada 1 Agustus 1944, hanya tiga hari sebelum orang-orang yang ada di tempat persembunyian, termasuk dirinya, ditangkap.<br /><br />Berkat buku hariannya itu, Time menyebut Anne sebagai ”the most memorable figure to emerge from World War II”.<br /><br />Tentu saja bukan hanya Anne yang menjadikan diary sebagai teman yang menyejukkan sekaligus sarana menyalurkan pemberontakan individual terhadap wajah bopeng dunia. Beberapa nama yang bisa disebut adalah Zlata Filipovich, Nadja Halibegovich, Mochtar Lubis, Ahmad Wahib, atau Soe Hok Gie.<br /><br />Nadja Halibegovich, bocah lugu yang merana dalam gigir kecemasan luar biasa akibat perang, juga menulis catatan harian yang di kemudian hari dibukukan dalam Catatan Harian Anak Sarajevo.<br /><br />Di sana ia mencurahkan kecemasannya dalam lebam kehidupan yang dibekap desing peluru dan dengus nafsu peperangan. Sekali lagi ini membuktikan, diary kendati sering disebut kelewat personal, tetap bisa menjadi penjelas wajah retak dunia. Simaklah kala Nadja menulis: ”bom-bom meledak di seluruh penjuru kota. Aku menyembunyikan perasaan-perasaan dari semua orang tetapi aku tenggelam dalam keputusasaan. Kapan perang ini akan berakhir? Berapa lama lagi hidupku akan berisikan ruang kematian?”<br /><br />Dengan nada masygul, Zlata menulis, ”We’re all waiting for something, hoping for something, but there’s nothing.”<br /><br />Kita juga teringat pada nama Mochtar Lubis—selain Gie dan Wahib, tentu saja. Mochtar Lubis menulis catatan harian di ruang pengap penjara. Mulai dari menu makanan penjara hingga kritik keras ia goreskan di catatannya. Dua buku akhirnya diterbitkan.<br /><br />Buku pertama berumbul Catatan Subversif berisi catatan hariannya kala dikurung sekira 10 tahun pada zaman Orde Lama. Buku kedua adalah Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru yang, sesuai judulnya, berisi catatan tokoh Indonesia Raya itu dalam tawanan Orde Baru. Dari kedua buku itu kita tahu sepak-terjang Mochtar Lubis dalam memberikan cermin kemanusiaan bagi kita.<br /><br />Saya membaca Catatan Subversif ketika masih bergelut di pers mahasiswa. Itu salah satu buku wajib di pers mahasiswa tempat saya belajar menulis, dan terutama belajar bagaimana menjejakkan laku dan pikir untuk berpihak.<br /><br /> Dinihari itu, setelah melihat tayangan tentang Anne Frank di televisi, dalam guncang-deru bus Surabaya-Lumajang, saya baca lagi Catatan Subversif dengan perlahan. Saya menikmati ketegasan kalimatnya, sebuah ikhtiar untuk menunjukkan bahwa tulisan adalah jalan untuk memberi suluh bagi gelap kehidupan.<br /><br /><br /><br />Saya berhenti di halaman 270. Di sana dilampirkan editorial The Philippines Herald terbitan 20 Desember 1963. Isinya tentang kemerdekaan pers. The Philippines Herald menuntut agar Mochtar Lubis dibebaskan. Dalam editorial berumbul Bebaskan Lubis sebagai Tanda Good Will Indonesia itu ditatah bahwa dalam pers Filipina terdapat tempat bagi Mochtar Lubis. Sebuah apresiasi yang sangat tinggi bagi pendekar jurnalitik Indonesia itu.<br /><br />* * *<br /><br />Catatan harian Gie dan Wahib, dua orang yang mati muda itu, juga menjadi inspirasi banyak orang. Gie dengan idealisme dan romantika khas anak muda, dan Wahib dengan gagasan besar soal keislaman dan keindonesiaan. Lain kali saya ingin menulis perjumpaan saya dengan dua anak muda itu.<br /><br />Malam itu, saya tiba-tiba teringat buku harian yang sudah cukup lama tak saya sentuh. Saya menulis buku harian sejak SMA, jauh sebelum saya membaca Anne, Mochtar Lubis, Nadja, Zlata, Gie, maupun Wahib.<br /><br />Saya selalu belajar untuk tahu bahwa menulis diary, yang kerap kita anggap sepele, ternyata menjanjikan kenikmatan tersendiri. Menulis diary bukan hanya persoalan menumpahkan pikiran dan perasaan yang teramat pribadi, melainkan juga ikhtiar untuk selalu berusaha jujur pada diri sendiri. Kadang hanya di depan diary-lah kita bersikap jujur.<br /><br />Lewat buku harian pula, yang kita anggap wilayah pribadi itu, ranah sosial terekam. Sebab, di sana kita juga bisa menulis soal wajah bangsa dan masyarakatnya. Perjumpaan antara pikiran-perasaan dan realita dunia terkadang melahirkan tulisan yang tidak hanya menyentuh, tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi orang ramai untuk bersama-sama melaburi dunia dengan belarasa dan empati, bukan dengan benci dan intoleransi.<br /><br /> Tapi, tentu saja, saya kemudian sadar bahwa diary kadang tak cukup mampu untuk dibebani kecemasan dunia.<br /><br />Dicungkil dari <br />Klik" <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=101476447525&comments">facebooknya</a>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-14640718574277122462009-05-27T08:32:00.001-07:002009-05-27T08:33:55.147-07:00Hudan Hidayat : Penyair gita pratama - misalkan Kita<span style="font-weight: bold;">Penyair Gita Pratama - misalkan kita...<span style="font-style: italic;"></span></span><br />Hudan Hidayat<br /><br /><a href="http://crystalistgita.blogspot.com/2009/03/andai-andai.html">Andai-Andai</a><br /><br />Anak Pedagang remote:<br /><br />Jika nanti aku besar<br />Kujual sebuah remote warna perak<br />Hentikan lalu lalang manusiamanusia hilang<br /><br />Agar tak lagi sibuk merubah channel<br />Kejar tayangan tivi warna suram terang<br />Lantas menggambar saja sendiri, mimpi<br /><br /><br />Anak Pedagang Bakso:<br /><br />Jika nanti aku besar<br />Kubuat bakso raksasa mengganti bumi<br />Yang kata orang sebulat mataku<br /><br />Dengan kuah pekat, mie lembut<br />Kaldunya berkelip serupa bintang<br />Di mangkok bergambar peri, ibu<br /><br /><br />Anak pedagang Jagung Bakar:<br /><br />Jika nanti aku besar<br />Akan kupasang arang, fondasi gedung jagung raksasa<br />Tinggi, menjulang menikam-nikam langit<br /><br />Asap bakar aroma magis<br />Kuhipnotis para penikmat jagung<br />Sabut dijadikan rambut, tubuhnya kaku<br />Umpati bonggol-bonggol sepi<br /><br /><br />Anak Pedagang Kopi :<br /><br />Jika nanti aku besar<br />Akan kutumbuk biji kopi sendiri, balurkan di tiap jengkal tubuh<br />Agar samar di antara remang gelap<br /><br />Diam-diam menyelinap di halaman buku bersampul putih<br />Di sana, aku menjadi kata-kata pengganti tinta<br /><br />Sby, Maret-Mei 2009<br /><br /><br />damam tak juga turun. atau tepatnya demam naik dan turun. tapi mengapa harus murung. biasa saja: tubuh, memang tak boleh dibuat selalu sejahtera. kadang demam harus memang datang. kalau tak datang, baik kita undang. dengan demam, kita mengingat akan rasa senang. menjadikan jiwa selalu waspada, awas akan daya daya dalam hidup ini.<br /><br />pagi tadi aku ke note icha chemplon. untulugi yang merepotkanku itu sudah disusunkan kawan kawanku. jadi bolehlah aku melakukan kesuakaanku, mengembara mencari cari sastra. kalau kalau ada yang bisa menghibur diri sebelum mati. bahwa sastra ini, oh indahnya. kok bisa ya sang penyair, membuat dunia kata yang ajaib dari gaib bahasa (frasa dari larik sitok srengenge).<br /><br />dalam mencari aku tak perlu diundang. mencari aja sebagai diri yang senang. apalagi gita pratama, penyair yang sudah lama kukenal sejak di multiply, sejak di milis yang kami ikuti - apresiasi sastra. aku berpendapat lembaga budaya kayak tuk itu - salihara kini - sudah bolehlah mengundang penyair<br /><br />yang selalu menulis puisi tak berbait panjang ini. puisi yang ringkas - tiga atau empat bait, dengan larik larik puisi yang juga tak panjang. tapi puisi, keindahan dan kedalamannya, memang tak berurusan dengan panjang dan pendeknya sebuah bait, atau sebuah larik. kedalaman dan keindahan puisi, bergantung pada cara bagaimana puisi itu ditulis, dan apa yang dibicarakan oleh puisi itu sendiri.<br /><br />apakah yang dibicarakan gita pratama dalam dunia puisinya? hanya hal yang biasa saja. hidup sehari hari yang biasa. tapi dengan sudut pandang victim - korban dari sebuah masyarakat di mana sang individu kalah tapi selalu melawan di sana, itulah yang menarik dari puisi puisi penyair gita pratama ini.<br /><br />datanglah ke notenya, kita akan dapatkan dunia dari orang orang kalah itu. dunia yang diberi tekanan perlawanan oleh sang penyair, sehingga kabar tentang kekalahan, kadang berbelok juga menjadi kemenangan. manusia bisa dilumpuhkan, kata kebajikan entah di mana kudengar, tapi tak bisa dikalahkan.<br /><br />dan itu artinya ia selalu mempunyai ruang untuk mengucapkan dirinya, untuk melawan dengan dirinya. meski hanya atau dalam dunia puisi, perlawanan semacam itu menjadi sebuah gerak pikiran untuk dijadikan semacam obor di hati. obor yang akan dibaca oleh mereka yang tahu akan hidup, dalam kegiatan budaya saling membaca dan saling menulis. akan nampaklah benang benang merah perlawanan yang datang dari pikiran itu.<br /><br />empat silhuet sunyi yang diperagakan dengan identitas orang kecil di puisi yang berjudul andai andai ini, memperlihatkan jenis dan watak perlawanan yang datang dari dunia kontemplasi sang penyair, dunia yang dalam usahanya mengatasi benda benda, telah membuat benda dan peristiwa yang dibayangkannya terkelupas di sana. mendadak kita berhadapan dengan sebuah benda dan peristiwa yang lain. kopi, jagung bakar, remoute control, bulatan bakso yang memang sebesar biji mata sang penyair, telah bergerak menjadi dunia iktibar, dunia lambang lambang.<br /><br />lambang lambang yang menjadi lintasan penyair untuk menyampaikan renungannya yang masuk ke dalam permainan peran - andai andai itu - mencipta ruang kosong yang bisa diisi rasa sunyi karena keterampilan sang penyair melukiskan, bukan mengatakan dengan dunia kata kata belaka, seperti yang tadi kulihat di note penyair cemerlang yang lain - krisandi dewi, tentang seorang anak penjual koran, yang temanya sangat bagus tapi gagal memancing pembacanya masuk ke dalam peristiwa yang sedang diceritakannya.<br /><br />kegagalan yang biasa di dalam dunia penciptaan, telah diambil alih oleh penyair gita dengan amat baik.<br /><br />jika nanti aku besar, sebuah larik yang mengajak, atau sekaligus dengan sekali sentak, telah memindahkan kisah puisi ke kisah yang mungkin telah menjadi pengalaman pembaca puisinya. jika nanti aku besar sebagai pintu masuk bagi dunia yang hendak dibentangkan oleh sang penyair, di mana pembaca masuk dan berdiam dalam perisitwa yang hendak diceritakan oleh sang penyair.<br /><br />jika nanti aku besar, dari sebuah pengalaman yang sama dari manusia yang sama yakni kita kita juga. kita manusia yang bisa berkaca dalam tiap kasus hidupnya yang nyata. jika nanti aku besar, gita, mungkin aku akan menghidu hidu dunia makna dalam puisimu, ke dalam dunia makna yang kususur dalam hidupku seperti dalam hidupmu.<br /><br />ah gita pratama penyair yang sudah mencapai tingkat kematangan dalam pengucapan puisi. berbahagialah kamu dengan puisi puisimu. kelak akan datang perubahan dalam konstelasi sastra kita, baik dalam cara mendekati konten puisi maupun dalam panggung panggung puisi yang terus merebak di seputar kita.<br /><br />idih kita.<br /><br />hudan hidayatGita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-60100900114762863842009-04-02T00:43:00.000-07:002009-04-02T00:46:43.580-07:00Seni Puisi (1): Pengolahan dan Pemberdayaan BahasaOleh <a href="http://www.new.facebook.com/notes.php?id=714305729">HASAN ASPAHANI</a><br /><br />PENGANTAR: Inilah tulisan awal saya yang semoga saja bisa membantu siapa saja memahami, mendekati, dan akhirnya mencintai puisi. Mencintai puisi - sebagaimana saya tulis dalam buku saya "Menapak ke Puncak Sajak (Koekoesan, 2007) - bisa dilakukan dengan dua hal: membaca dan menuliskannya. Keduanya sama asyiknya. Ini adalah tawaran dialog, mengobrol. Suasananya adalah kedai kopi. Bukan ketegangan meja seminar. Pemikiran-pemikiran yang beda mari kita pertukarkan. Jangan takut kalau obrolan kita ini mungkin akan terlihat naif, bodoh, atau konyol - dan mungkin kita tidak sampai pada kesimpulan apa-apa. Saya percaya, pada tingkat tertentu, sebuah perdebatan tanpa keputusan lebih baik daripada sebuah keputusan tanpa perdebatan. <br /><br />Seni Puisi (dari bahasa Yunani "poesis" - berarti "pembuatan" atau "penciptaan") adalah seni yang mengolah atau memberdayakan bahasa agar tercapai kualitas estetisnya. Pengolahan dan pemberdayaan itu dicapai dengan menggarap satuan-satuan gramatika yaitu kata, frasa, klausa dan kalimat. Penggarapan itu dilakukan dengan memanfaatkan, menambahkan, menciptakan, memperluas, bahkan menggantikan, makna yang semula ada.<br /><br />Puisi telah menempuh sejarah yang panjang. Upaya-upaya awal untuk menjelaskan apakah puisi itu, seperti dilakukan oleh Aristoteles dalam risalahnya "Poetics", terpusat pada ihwal pemanfaatan "daya bahasa" dalam retorika, drama, lagu atau komedi. <br /><br />Pada zaman yang lebih kemudian, puisi mulai ditengok lebih khusus pada bagian-bagian khasnya seperti repetisi, rima, ritme, metrum, pilihan kata, dan mulai lebih ditekankan pula pada pertimbangan estetika bahasa puisi yang sudah mulai dipisahkan atau dibedakan dengan prosa. <br /><br />Sejak pertengahan abad ke-20, puisi sudah mulai dipegang dengan longgar pengertiannya, definisi yang baku tidak lagi disakralkan. Sejak itu yang penting bagi puisi adalah ia telah didudukkan sebagai dasar dari kerja kreatif yang menggunakan bahasa sebagai ranahnya. <br /><br />Puisi kerap menggunakan bentuk-bentuk khusus dan aturan-aturan tertentu untuk memperluas kemungkinan makna literal kata-kata, atau untuk merangsang bangkitnya tanggap rasa dan emosi. Perangkat-perangkat perpuisian seperti, asonansi, aliterasi dan ritme digunakan untuk mencapai efek musikal dan efek seperti mantra. <br /><br />Pada puisi terkandung ambiguitas, simbol-simbol, ironi, dan pada puisi diberdayakan juga unsur-unsur stilistika diksi puitik lainnya. Akibatnya, makna puisi menjadi multitafsir, puisi membuka dirinya bagi pemaknaan yang berganda-ganda. Dengan cara yang sama, metafora dan simile menciptakan gaunggambar yang bersahut-sahutan antara imaji-imaji yang tidak sama bahkan bertentangan --- serentak tercipta pula pelapisan-pelapisan makna, terbentuk jalinan yang sebelumnya tidak terduga. <br /><br />Beberapa bentuk puisi yang khas lahir dari kebudayaan tertentu, akibat kekhasan pada bahasa yang digunakan atau dikuasai oleh sang penyair. Dari Italia, kita mengenal soneta, dari Persia kita mengenal gazal, dan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia kita mengenal pantun, dari Jepang kita mengenal haiku. Bentuk-bentuk puisi itu kemudian melintasi bahasa-bahasa. Soneta ditulis dalam Bahasa Inggris dan Indonesia juga. Haiku pun ditulis dalam bahasa Inggris dan Jepang. <br /><br />Sekarang, di zaman dunia yang terbuka, mengecil, dan menyatu, penyair amat bebas menjelajah, tidak hanya mencari kemungkinan yang disediakan oleh bahasa utama yang ia pakai. Penyair juga bebas meminjam gaya, teknik, dan bentuk dari budaya dan bahasa lain. .:.Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-60721211094795167582008-08-25T04:00:00.000-07:002008-08-25T04:06:59.241-07:00Hudan Tentang Manusia Setengah<p><a href="http://crystalistgita.blogspot.com/2008/08/manusia-setengah.html">Manusia Setengah</a><br /></p><p>Manusia setengah jadi<br />Bergantung janji<br />Hingga perlahan mati</p> <p>Manusia setengah mati<br />Tak jera memuja janji<br />Yang tak juga jadi</p> <p>Manusia setengah janji<br />Tak bertemu jadi<br />Hingga dibawa mati</p> <p>Jadi mati[lah] janji</p> <p>:Dikurung mati pada janji yang tak jadi</p> <p>sby, Agust 2008</p> <a rel="nofollow" ymailto="mailto:Apresiasi-Sastra%40yahoogroups.com" target="_blank" href="http://aa.mc334.mail.yahoo.com/mc/compose?to=Apresiasi-Sastra%40yahoogroups.com">Apresiasi-Sastra@ yahoogroups. com</a><br />Date: Sunday, August 24, 2008, 11:08 AM<br /><br />Puisi ini seolah manusia yang menggantung. seolah manusia nyaris. Seolah ada harapan di seberang sana. dari hidup yang tanpa harapan.<br /><br />Tak ada apa di balik hidup. Hanya mitos akan sesuatu yang indah tapi kosong harapan. Yang diteriakkan penyair gita dengan suara terbelah - belahan dari mitos yang diembuskan kepada dirinya sebagai konvensi. Tapi belahan yang tersembunyi lagi menggeliat juga minta keluar.<br /><br /><span style="font-style: italic;">tak jera memuja janji</span><br /><span style="font-style: italic;"> yang tak juga jadi</span><br /><br />Tapi di ujung puisi ia keluar dari keragu-raguannya. Menjadi manusia yang bukan nyaris. Tapi manusia sempurna alias tak memiliki apa-apa selain hidupnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">jadi mati (lah) janji</span>, teriaknya.<br /><br />Maka apa bedanya dengan kawanku yang menulis di sana: tuhan telah mati.<br /><br />Sama dan seirama, bukan?<br /><br />hudanGita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-59810965118580534512008-07-11T20:30:00.000-07:002008-07-12T00:33:28.571-07:00[Esai] Tiga Perempuan PenyairSebuah puisi, sebuah esai hakui tentang puisi, sebuah esai tentang puisi dan tentang esai tentang puisi, sebuah puisi, sebuah esai tentang puisi, seperti di”lekat”kan Kris Budiman di sini, memang mengandung “jarak” dan “idealisasi” yang nyata. Tapi jarak, idealisasi, terasa absurd bagi saya, terasa misterius. <br><br>Lihatlah bagaimana jarak itu bekerja: ia merentang sepanjang rantai sejarah manusia. Tapi sekaligus memendek dengan apa yang namanya kenangan. <br><br>Jarak dalam ruang, ruang dalam jarak, seolah menunjuk sebuah ukuran. Seolah menunjuk beberapa ukuran (lihatlah sistem galaksi kita). Tapi apakah di balik ukuran dan beberapa ukuran ini? Adakah sesuatu yang tak terukur, di mana ruang dan jarak lesap ke dalamnya? Apakah ia hendak kita sebut? Adakah seni puisi bisa bekerja di sini? Aduh: betapa implikatifnya!<br><br>Seumpama kematian, jarak adalah idealisasi sesudah mati: apakah di balik mati? adakah surga di balik mati? <br><br>Jarak inheren dalam idealisasi. Idealisasi mewujud dalam jarak. Mereka menampit seolah roh dan badannya. Mereka menjauh seolah kesadaran menunjuk benda dan peristiwanya. <br><br>Jarak dan idealisasi mengerut dalam kata – seolah pecahan beling dengan gelasnya. Saat gelas itu pecah menjadi beling, itulah saatnya kata-kata menunjuk kepada maknanya. <br><br>Menariknya dunia kata, adalah saat ia bisa mendekat atau menjauh, dari manusia yang mengalami. Kata-kata bisa seolah manusia tidur, di mana pembelahan pikiran dan tubuh terjadi (jarak itu). Orang tidur bukankah tidak menyadari tubuhnya sendiri? Tapi dalam keadaan terbelah pun, idealisasi itu muncul lagi. Itulah saatnya orang tidur memimpikan kebahagiaannya, meski ia dalam keadaan tidurnya.<br><br>Saat orang tidur, itulah saat pula bagi kata-kata menarik diri, masuk terbenam ke dalam manusia yang mengalami peristiwa atau benda. Seperti orang tidur, kata-kata menjadi pasif . Tak bergerak. Di sini kata berlum beruang. Tenggelam dalam kesadaran. Kesadaran yang aktif, tapi aktifitas kesadaran itu belum memperoleh ruang – ruang kata-kata alias ruang aksara.<br><br>Begitulah kata-kata itu terbenam dalam diri. Begitulah pengalaman benda-benda itu terasa berjarak dari manusia yang mengalami. Ia menilai. Ia mencerap semuanya – ia mengidealisasi, atau menampik idealisasi. Ia melesap ke dalam kesadaran.<br><br>Bangkitnya kesadaran dalam kata-kata yang memperoleh ruang ini, adalah waktu untuk puisi. Mewujudkan pencerapan yang dilakukan oleh kesadaran ke dalam ruang puisi. Puisi dari sebuah dunia yang tak berhukum kecuali hukum yang dikehendaki oleh penyair. Dunia tak berbatas kecuali batas yang dikehendaki oleh penyair. <br><br>Jelaslah. Penyair membuat hukumnya sendiri dalam dunia puisi yang dituliskannya. Di mana satu-satunya hukum (kalaupun boleh disebut sebagai hukum) adalah apakah dunia puisinya kering dan mengandung makna untuk melihat kehidupan. <br><br>Saat penyair menulis puisi, itulah saat di mana kata-kata mendekat kepada pengalaman manusia akan benda-benda dan peristiwa. Bahkan pendekatan itu kini lebih masuk lagi menjadi penyatuan. Benar. Sang penyair telah menyatu dengan peristiwa dan benda-benda. Larut ke dalam peristiwa dan benda-benda yang diceritakannya dalam syairnya. <br><br>Tetapi imajinasi dan imaji yang melekat kepada manusia penyair atau manusia pembaca syairnya, telah membuat kata-kata itu membelah diri lagi, ke dalam penjauhan dan pendekatan benda dan peristiwa di dalam syair – jarak. Begitulah mereka selang-seling berjalan bolak-balik. <br><br>Dalam puisi, penjauhan terjadi saat sang aku lirik bercerita tentang peristiwa dan benda-benda, di mana peristiwa dan benda telah menjadi objek pengamatannya, seperti yang ditunjukkan Kris Budiman terhadap dunia puisi Amir Hamzah dan Chairil. Tetapi pendekatan kepada peristiwa dan benda-benda terjadi lagi, saat sang aku lirik menjadi atau mewujudkan dirinya sebagai objek dari peristiwa dan benda-benda itu sendiri. Dirinya sebagai subjek lebur ke dalam peristiwa dan benda-benda. Mengubah narator menjadi lirik. Narator lirik dari tanda bahwa suatu bahasa tulis sedang bekerja di sana.<br><br>Kris Budiman telah mengutip narator yang telah menjadi lirik ini, dalam dunia puisi Herlinatiens, sebuah dunia yang menjadi tipikal manusia modern untuk berontak, sebagai yang saya lihat pula dalam dunia puisi Maria Ferarri, di mana pemberontakan di sana mengambil atau mewujud ke dalam pemberontakan terhadap surga dan neraka dalam hubungan passion manusia – Maria menyebutnya para pendosa. Atau yang terbaca juga dalam dunia puisi Gita Pratama, sebagai sebuah pemberontakan dengan mengambil bentuk anak kecil yang diceritakannya, melawan dunia realita manusia dewasa: Seharian berlarian bergulat pasir taman<br>Di atas papan seluncur kau berdiri terkekeh<br>"Kukencingi kalian", teriaknya pada bocah lainnya (Gita Pratama)<br><br><br>Selamat dan salut/ternyata aku tak salah dengan membunuhmu/lebih dulu (Herlinatiens) <br><br>Inilah narator yang telah menjadi lirik, dari seorang novelis tersohor ini. Di mana narasi selamat dan salut adalah sebuah idealisasi, juga ancang-ancang yang berfungsi semacam latar bagi sang aku untuk masuk menjadi narator lirik, atau kata yang mendekatkan manusia pada objeknya, objek yang bergerak menjadi subjek: aku tak salah dengan membunuh.. tapi subjek itu keluar lagi dari dalam dirinya, membuat atau menjadi jarak lagi dengan “mu” di situ.<br><br>Permainan subjek objek, jarak dan idealisasi yang keluar masuk itu, terjadi juga dalam puisi Maria Ferarri “Sambutlah Kami Para Pendosa”. Menarilah lidah-lidah api, kata perempuan berwajah melankolik ini, menyuarakan latar kelam dari idealisasi pemberontakannya, demi sebuah kebebasan yang dipilihnya. Latar di mana sang aku lebur menjadi kami para pendosa. Yang merentangkan jarak dirinya dengan idealisasi lain atau jarak lain. Dengan ungkapan yang begitu memilukan, tapi terasa mencapai pemberontakan yang penuh: Di neraka kami berjumpa/untuk segala api segala bara.<br><br>Narator yang menjadi lirik, atau aku sang penyair yang lesap ke dalam benda, telah menjadi benda itu sendiri dengan menyuarakan pengalamannya. Saat di mana jarak menghilang, meruang dalam dalam diri sang penyair, seperti terbaca dalam dunia puisi tiga perempuan penyair itu. Di mana lesapan itu menjadi atau membentuk jarak kembali dengan idealisasi yang diungkapkan mereka dalam puisinya.<br><br>Di sana puisi nampak begitu menggetarkan. <br><br>(Hudan Hidayat) <!-- multiply:no_crosspost --><p class='multiply:no_crosspost'></p>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-91174258392033064592008-05-01T09:17:00.000-07:002008-05-01T09:19:27.494-07:00[Ruang Renung # 164] Bicara Biasa, Bicara PuisiOleh HASAN ASPAHANI<br /><br /><span style="font-size:85%;">BERPUISI itu adalah berbahasa. Puisi itu adalah bicara kita. Berbicara dengan puisi berbeda dengan berbicara biasa. Puisi bukanlah bicara yang tidak komunikatif. Memang lebih mudah memahami bicara biasa dibandingkan bicara puisi. Bicara biasa tujuannya cuma satu: ia harus dimaknai tunggal, penyimak isi pembicaraan hanya berusaha menerima satu-satunya makna atau pesan dari si pembicara. Jika itu tidak terjadi maka komunikasi gagal.<br /><br />PUISI tidak begitu. Kata A Teeuw, puisi menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan secara berliku-liku, sehingga mengejutkan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi justru keanehan itu menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.<br /><br />AKAN tetapi bukan berarti puisi harus dirumit-rumitkan, diruwet-ruwetkan agar ia susah dipahami. Pengaturan bicara puisi diupayakan agar pemaknaannya bisa kaya, tidak tunggal. Mungkin hanya ada satu makna pokok seperti dalam bicara biasa, tapi yang pokok itu pun memberikan banyak variasi cara memaknainya.<br /><br />SI penyimak bicara puisi menemukan kenikmatan dari seluruh sisi bahasa puisi itu. Puisi tidak menuntut kepraktisan komunikasi. Puisi memberi kesempatan pada pengguna bahasa untuk bermain-main lagi dengan kata, membangkitkan lagi kenakalan bahasa, bertamasya ke dalam ruang-ruang bahasa yang jarang dikunjungi dalam kesibukan berbahasa kita sehari-hari.<br /><br />Diculik dari <a href="http://sejuta-puisi.blogspot.com/2006/08/ruang-renung-164-bicara-biasa-bicara.html">SEJUTA PUISI</a><br /></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-29324595748861155462008-05-01T09:03:00.000-07:002008-05-01T09:05:56.233-07:00TEKS PUISI, TEKS KEHIDUPAN Oleh WAYAN SUNARTA<table class="contentpaneopen"><tbody><tr><td colspan="2" align="left" valign="top" width="70%"><a href="javascript:void window.open('http://www.puisi.net/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=303', 'win2', 'status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories=no,location=no');" title="E-mail"><br /></a><a href="javascript:void window.open('http://www.puisi.net/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=303', 'win2', 'status=no,toolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories=no,location=no');" title="E-mail"> </a></td> </tr> <tr> <td colspan="2" class="createdate" valign="top"> Nov 09, 2007 at 06:16 PM </td> </tr> <tr> <td colspan="2" valign="top"> <p>Umbu Landu Paranggi, mantan Presiden Malioboro yang kini menetap di Bali, yang hampir seluruh hidupnya dibaktikan untuk puisi, pernah berujar: kehidupan adalah puisi dan puisi adalah kehidupan itu sendiri. Saya rasa Umbu benar untuk hal itu. Begitu rupa ia mencintai puisi. Begitu dalam pula puisi mencintainya. Umbu adalah puisi itu sendiri, ia adalah teks jua.</p><p> </p> Puisi adalah sebuah teks besar. Dan kehidupan juga adalah sebuah teks besar. Keduanya berkelindan dalam kepala setiap pembaca teks. Tentu pembacaan itu melahirkan tafsir yang beragam, sesuai dengan ketelitian dan kekuatan pembacaan. Tidak ada tafsir tunggal. Setiap pembaca sah menafsirkan teks, menafsirkan puisi atau kehidupan. Dan dengan penafsiran itu pula ia menjalani apa yang diyakininya.<br /> <br />Dari setiap penafsiran itu pula puisi menemui jalan hidupnya sendiri ketika ia diserahkan dengan ikhlas ke khalayak dan sang penyairnya (pengarang) mati dengan indah atau penuh kecemasan. Sebuah puisi bisa bernasib malang di tangan redaktur karena dianggap tidak layak muat. Sebuah puisi bisa bernasib indah ketika ia dimuat dan diapresiasi pembaca dengan penghargaan tinggi. Sebuah puisi bisa pula bernasib tragis ketika ia diberangus karena dianggap menghina agama atau kekuasaan. Nasib puisi sama halnya dengan nasib manusia. Jalan hidup puisi adalah ketidakterdugaan.<br /> <br />Sebuah puisi harus dibaca sebagai sebuah teks yang di dalamnya mengandung berbagai unsur kehidupan yang berkelindan, yang memeram makna tak terduga, yang bagai lapisan kulit bawang. Bahkan kata atau metafora yang membangun puisi adalah juga teks-teks yang saling berjalinan. Puisi tidak mengharapkan hal-hal yang berlebihan dari pembacanya. Karena segala hal yang berlebihan akan dikembalikan kepada Sang Pencipta. Yang dirindui puisi hanyalah rasa cinta dan kasih yang tulus, yang jauh dari kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, arogansi atau bentuk-bentuk penghakiman lainnnya. Sebab pada intinya puisi mencintai dirinya sendiri, sekaligus pembacanya.<br /> <br />Puisi memberikan ruang untuk keberagaman, untuk perbedaan yang diharapkan akan membangun penghargaan terhadap kemanusiaan kita. Itulah pula sebabnya mengapa kitab-kitab suci disusun dalam bentuk syair (puisi), bukan prosa? Mengapa pula mantra dibuat dalam bentuk puisi? Karena puisi menghargai perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Dengan kata lain, tidak ada tafsir absolut terhadap puisi. Puisi memiliki jiwa yang berbeda dengan prosa. Puisi adalah kejujuran hati, sedangkan prosa adalah penipuan diri. Puisi adalah matahari, sedangkan prosa adalah bulan. Puisi adalah kesetiaan, sedangkan prosa adalah pengingkaran pada diri sendiri.<br /> <br />Ketika penyair menyusun kata-kata menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan khalayak pembaca. Membaca puisi sebagai teks adalah memasuki rimba raya lambang. Puisi adalah rimba, dan pembaca adalah pemburu atau mungkin petualang yang tersesat.<br /><br />Pembaca sebagai pemburu tentu sudah menyiapkan senjata, bekal dan segala perkakas untuk berburu. Di dalam rimba puisi, ia berburu makna, atau berburu keindahan yang dirinduinya. Ia bisa pulang bahagia dengan membawa hasil buruan, atau kecewa tidak menemukan apa-apa di dalam rimba puisi. Ada sedikit pemburu yang mau memasuki rimba puisi karena menganggap tidak ada hewan-hewan berharga di sana, atau karena berburu di dalam rimba puisi lebih sulit ketimbang di dalam rimba prosa. Pemburu dalam hal ini adalah kritikus atau orang yang menobatkan dirinya sebagai kritikus sastra. <br /><br />Pembaca sebagai petualang yang tersesat adalah ketidakterdugaan yang indah. Hanya karena karunia keindahan yang menyebabkan ia tersesat ke dalam rimba puisi. Dengan ragu dan cemas ia menyusuri belantara, berharap menemukan jalan kembali. Ia tidak akrab dengan rimba puisi. Namun di dalam keraguan dan kecemasan ia perlahan mencoba mengikhlaskan dirinya pada rimba puisi. Demi bertahan hidup dalam rimba puisi, ia berusaha mencintai setiap pepohonan, belukar, duri, bunga-bunga, buah segala buah, dan berupaya menghindar dari sergapan binatang buas. Sampai akhirnya ia menemukan tempat yang aman dan nyaman dalam rimba puisi. Perlahan rimba puisi membuka segala keindahannya untuk si petualang yang tersesat itu. Ada kolam bening di mana ia bisa mengacakan wajah, meraba atau membaca bayangan dan kenangan.. Ada bunga yang perlahan merekah di hadapan mata sehingga ia bisa menyentuhkan jari-jarinya ke sari bunga yang indah itu. Ada duri yang ia biarkan menyusup di telapak kaki sehingga kepedihannya tiada terasa nyeri lagi. Si petualang yang tersesat merasa menemukan nirwana dalam rimba puisi. Ia tidak ingin pulang lagi, ia menyatu dalam rimba puisi. Saya rasa Umbu adalah salah satu petualang yang tersesat dalam rimba puisi.<br /><br />Puisi memberi kita banyak hal untuk belajar tentang kehidupan, keindahan sekaligus kepedihannya. Puisi berutang pada kehidupan, dan kehidupan berutang pula pada puisi. Namun sesungguhnya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka saling mencintai. Tidak ada kekuasaan apa pun di muka bumi yang mampu memisahkan keduanya, tidak raja tidak pula kaisar. Pemberangusan, pencekalan, penindasan atau pembredelan tidak akan melemahkan puisi dan kehidupan. Justru mereka semakin kuat untuk bersenyawa. Puisi (meminjam satu baris puisi Umbu) adalah <em>raja diraja sekaligus budak belian bagi kerajaan purbani</em>.<br /><br />Kekuatan dan kemenangan puisi adalah justru karena ia menjadi bara yang bersemayam dalam jiwa setiap manusia. Puisi mampu menghangatkan hati, atau menghanguskan hati. Puisi seperti kundalini, ular mistik yang terlelap dalam cakra dasar manusia. Manusia yang dungu tidak akan mampu membangunkan ular itu dari tidur purbanya, manusia yang peka adalah pawang bagi si ular kundalini.<br /> <br />Puisi adalah ular kundalini yang semayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya.***<br /> </td> </tr> <tr> <td colspan="2" class="modifydate" align="left"> Last Updated ( Nov 09, 2007 at 06:22 PM )<br /><br />Diculik dari <a href="http://www.puisi.net/index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=43">puisi.net</a><br /></td></tr></tbody></table>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-57984512829982893402008-05-01T08:19:00.000-07:002008-05-01T08:21:38.192-07:00Rancangan Undang-undang Oleh HASAN ASPAHANI<div align="center"><span style="font-size:85%;"><strong>Semacam Pengantar:</strong></span></div><div align="center"><span style="font-size: 85%;"><span style="font-size:85%;"><em>Saya tidak sedang berkampanye jadi Menteri Perpuisian dan Kepenyairan. Jadi siapa yang ingin menertawakan RUU ini ya silakan. Mau merevisi ya silakan. Mau membaca dengan serius ya silakan. Ini cuma hasil kerajinan tangan pencinta puisi yang lagi kurang kerjaan. Ini edisi revisi. HAH</em></span></span></div><divalign="center"></divalign="center"><p align="center"><span style="font-size:85%;"><strong><span style="font-size: 130%;">Rancangan Undang-undang<br />Perpuisian dan Kepenyairan</span></strong><br /><em>(Edisi Revisi Pertama)</em><br /><br /><strong>Menimbang: </strong><br />a. BAHWA di seluruh dunia tidak ada bangsa atau suku bangsa yang tidak mempunyai tradisi puisi, apapun bentuk dan kekhasannya. Puisi adalah lumbung kekayaan rohani umat manusia.<br />b. BAHWA di seluruh dunia dari zaman purba, manusia menciptakan puisi dengan fungsi dan tujuan yang bermacam-macam: keagaman, sosial, dan atau individual.<br />c. BAHWA puisi tentang apa saja, sampai kapan saja akan terus dituliskan, dinyanyikan, dibaca, untuk memukau, menghibur, memperkaya rasa dan hati, mengajak bercanda, merenung atau menyadari siapa sesungguhnya diri manusia.<br /><br /><strong>Mengingat: </strong><br />a. PUISI yang baik bisa mendekatkan manusia kepada Tuhan pencipta alam dan sesama manusia.<br />b. PUISI yang baik bisa membantu manusia menjalani hidupnya dengan lebih baik.<br />c. PUISI yang baik adalah pembuka jalan ke masa depan bahasa-bahasa.<br /><br /><strong>Memutuskan: </strong><br /><strong>Menetapkan</strong>: Undang-undang Perpuisian dan Kepenyairan<br /><br /><br /><strong>Bab 1. Ketentuan Umum<br /></strong>Pasal 1<br /><strong>Puisi dan Penyair</strong><br /><br />1. PUISI atau sajak adalah apa yang digubah dan diniatkan oleh penyairnya sebagai sajak. Kemudian niat sajak penyair itu bersesuaian dengan niat sajak bahasa dan niat sajak pembaca.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">2. PUISI terutama hadir dengan kehadiran kata, tapi keadaan absen kata pun bisa menghadirkan puisi. Apa yang puisi bisa hadir atau dirasakan pada bahasa cahaya, bahasa bunyi, bahasa benda, bahasa rasa, dan bahkan bahasa aroma.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">3. PENYAIR adalah orang-orang yang menggunakan sebagian waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan puisi, menyiarkannya di berbagai jenis media dan atau kadang-kadang melisankannya di hadapan khalayak ramai.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">4. PUISI terbaik adalah puisi yang bahasa yang membangunnya dan makna yang dikandungnya tidak pernah menjadi bagian dari masa lampau, ia selalu bisa dikaitkan dengan masa kini dan ia bahkan menjadi isyarat masa depan. Puisi yang demikian hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kederdasan yang tinggi.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">5. PUISI adalah dunia rekaan, dunia fiksi, peristiwa yang dialami atau yang dibayangkan oleh penyair dihadirkan dalam kata-kata dan bahasa yang bukan kata, dan tidak lagi berada di dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu puisi tidak bisa ditakar dengan ukuran yang biasa dikenakan untuk kehidupan sehari-hari.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">6. PUISI adalah hasil dari kerja penyair mengamati dan menghayati alam dan meneliti peristiwa yang dialami manusia, lalu dengan menaati, mempermainkan, memberdayakan bahasa, bahan itu oleh penyair diolah, dengan demikian maka rujukan pertama dan terutama bagi puisi dan penyair adalah kehidupan dan tata bahasa.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">7. PROSES penulisan puisi berakhir apabila dalam kata-kata dan bahasa lainnya yang dipermainkannya telah tersusun pesan yang hendak disampaikan olehnya dan atau telah tersusun peristiwa yang dirasa-rasakan pernah dialaminya dan ia merasa peristiwa dan pesan itu telah mengandung makna, berarti dan atau bermanfaat.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">8. PUISI menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan berliku-liku, sehingga ia memberi kejutan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi keanehan itulah yang menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.<br /><br />Pasal 2<br /><strong>Bentuk, Ruh, dan Falsafah Puisi<br /></strong><br />1. TAK ada batasan tentang seberapa panjang atau seberapa pendek sebuah puisi boleh dituliskan. Panjang pendek sajak tidak berhubungan dan tidak menentukan mutu puisi. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. PENYAIR bebas memilih bentuk puisi. Penyair bebas memilih apakah ia ingin terikat pada sajak berbentuk tetap atau bebas dengan bentuk sajak bebas. Penyair bebas merusak bentuk-bentuk tetap, juga bebas membuat sebuah bentuk tetap yang baru. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. ADA ruh dalam setiap puisi yang baik. Penampakan ruh itu timbul tenggelam antara kerumitan dan keutuhan puisi. Ruh puisi samar bahkan hancur pada sajak yang menawarkan kerumitan tetapi tidak bisa meraih keutuhan. Ruh puisi pucat, pudar bahkan hilang pada sajak yang utuh tapi sama sekali tidak asyik karena tidak menawarkan tantangan pemaknaan dengan kerumitan yang memadai. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. TIAP penyair pasti akan dan harus menemukan dan atau memiliki kredo atau falsafah perpuisian dan kepenyairannya sendiri. Falsafah itu bukan cetakan yang tetap, tetapi ia menjadi tangan gaib yang membimbing penyair bertemu puisi-puisinya. Falsafah itu kemudian menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk melancong ke dalam puisi-puisi itu. Tentu saja pembaca boleh menemukan atau menciptakan pintu lain untuk menemukan kenikmatan lain. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />5. PENYAIR boleh kapan saja meninggalkan kredo atau falsafah puisi yang pernah ia temukan, karena penyairlah yang menemukan kredo itu, bukan kredo yang menemukan penyair.<br /><br /><strong>Bab 2. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca</strong><br />Pasal 3<br /><br />PUISI memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna pada sajak itu, karena puisi merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia penyair dengan segala pengalaman dan suka-dukanya.<br /><br /><strong>Bab 3. Kebulatan dan Keutuhan Puisi</strong><br />Pasal 4<br /><br />SEBUAH puisi yang baik merupakan sebuah kebulatan dan kepaduan makna di mana segala unsur berkaitan satu dengan yang lain, di mana setiap bagian atau aspek menyumbang pada keseluruhan makna. Aspek sajak tersebut terdiri atas aspek makna, aspek tata bahasa, aspek struktur sajak, aspek bunyi sajak.<br /><br /><strong>Bab 4. Peran dan Tantangan Penyair<br /></strong>Pasal 5<br /><br />1. PENYAIR menjalani peran kepenyairannya antara permainan kata ala anak-anak dan penyampaian makna bak seorang nabi. Penyair bermain kata-kata sampai di dalamnya tersusun atau tersampaikan makna. Anak-anak hanya asyik pada permainan kata-kata tak peduli apakah bermakna atau hanya sia-sia. Nabi tidak bermain kata tetapi ia menyampaikan kata-kata yang bermakna yang ia terima sebagai wahyu dari Tuhan untuk dikabarkan kepada manusia, umatnya. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. PENYAIR harus tetap mempertahankan kesadaran kritis agar ia tetap bisa mempertahankan kepenyairannya dan memberi kesaksian lewat sajak-sajaknya. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. TANTANGAN penyair adalah terus-menerus mencari dan mengembangkan tema sajak-sajaknya dan menciptakan cara pengungkapan baru, bahasa yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair sebelum dia. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. PENYAIR berhadapan dengan sejumlah kode tetap dan konvensi. Tetapi, kode dan konvensi itu bukan merupakan sistem yang tetap dan ketat: dalam kegiatan penciptaannya si penyair berhak dan bertugas untuk menerapkan sistem itu secara individual, menyesuaikan menurut keperluannya sebagai seniman, malahan memperkosa dan melanggarnya seperlunya. Pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat puisi yang khas, malahan pada masa-masa tertentu hasil dan nilai sebuah karya puisi sebagai besar ditentukan oleh berjaya-tidaknya dalam usahanya mendobrak dan merombak konvensi itu. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />5. TETAPI dalam pelanggaran itu si penyair mau tidak mau terikat pada konvensi itu, agar tercipta ruang apresiasi yang layak untuk pembaca. Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total; sebab perombakan total akan berarti bahwa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya itu.<br /><br /><br /><strong>Bab 5. Penyair dan Kehidupan</strong><br />Pasal 6<br /><br />1. PENYAIR yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan dengan lingkaran dunia yang lebih besar. Perhatian pada dunia luar itu mengandung pengertian menaruh atau memberi hati, perbuatan yang dekat persinggungannya dengan mencintai. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. TEMA cinta abadi dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. Cinta itu dapat berhenti pada “perhatian dan menaruh hati” itu saja, tetapi dapat pula meluap sebagai nafsu dan rindu yang ingin meluluhkan diri dengan subyek cintanya: bunga, langit, anak, kekasih, keindahan atau kebenaran yang didamba. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. PUISI harus berada di pihak manusia korban, manusia yang lemah, yang tertekan, yang terasing atau diasingkan dari kenyataan kekuasan, dari komunikasi kemanusiaan. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. DALAM puisi yang memerlukan kesaksian bukanlah kenyataan, bukan fakta dan kekuasaan, melainkan yang mungkin, yang rapuh, yang kelak retak, yang sia-sia.<br /><br /><br /><strong>Bab. 6 Sumber Ilham</strong><br />Pasal 7<br /><br />1. MASA kecil, istimewa atau biasa-biasa saja, bisa menjadi ilham puisi. Masa kecil harus dicurigai menyimpan sesuatu di bawah hal-hal yang berlangsung begitu-begitu saja. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. PENYAIR harus sabar menjelajahi dan meneliti sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil agar hidup kembali atau tertangkap dalam kata-kata puisi. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. SEGALA hal dalam masa kecil penyair diam-diam kemungkinan telah menjelma menjadi lambang-lambang; atau mungkin juga di masa kecil, lambang-lambang telah menjelma dalam hidup sehari-hari sebagai yang nyata. Karena itu masa kecil benar-benar mengasyikan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang dan karenanya sangat kaya makna. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. PENGALAMAN-pengalaman yang sulit diingat karena amat sepelenya dan cenderung mudah dilupakan saja, harus diundang, dikenang, dirawat, ditumbuhkan lagi karena ia berharga untuk dicipta kembali dalam sajak-sajak. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />5. PENYAIR harus mengamati, mengalami dan menghayati banyak hal. Kemudian perlahan ikhlas mendamaikan segalanya dalam ingatan. Ketika hal-hal itu datang serempak atau satu per satu, karena rangsang hal lain dan imajinasinya telah mengajaknya bermain, maka itulah saatnya ia menuliskannya sebagai puisi.<br /><br /><strong>Bab 7. Pembaca, dan Memaknai Sajak<br /></strong><br />Pasal 8<br /><strong>Penyair dan Pembaca Sajak</strong><br /><br />1. TUGAS penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. Penyair harus mengupayakan agar sajaknya sampai kepada pembaca dan susunan kata-katanya tidak menghalangi pembaca untuk menyusun sendiri citra-citra atau imaji yang menggambarkan peristiwa tertentu. Tetapi juga tidak terlalu mudah sehingga tidak menawarkan imaji apa-apa bagi pembacanya. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. Penyair tidak boleh menghalangi, juga sebaliknya tidak bisa memaksa pembacanya untuk ikut, atau akrab atau bahkan memiliki peristiwa dalam sajak yang ia ciptakan. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. Pembaca-pembaca sebuah sajak bebas menangkap imaji yang mendukung sebuah sajak, tetapi bermakna tidaknya peristiwa itu baginya tergantung pada pengalaman, kecederdasan, dan kemauannya untuk membuka diri. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />5. Modal pembaca untuk mendekati karya puisi terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau sistem itu sama sekali tidak dapat dipakai lagi untuk memahami karya seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya.<br /><br />Pasal 9<br /><strong>Membaca dan Memaknai Sajak</strong><br /><br />1. <strong>Tak Tergantikan.</strong> Penafsiran sajak tidak pernah dapat menggantikan sajak itu sendiri. Sebab sajak yang baik adalah ekspresi yang ideal dari kebenaran yang direbut oleh penyair dari kehidupan. Penjelasan dan penafsiran hanya dapat berfungsi sebagai pengantar kembali pada sajak itu sendiri. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />2. <strong>Merebut Makna.</strong> Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />3. <strong>Tak Pernah Tuntas.</strong> Tidak pernah ada makna sajak yang final, tidak pernah ada pengetahuan yang definitif dalam sajak. Puisi tetap pasemon yang terus-menerus memerlukan interpretasi, atau lebih tepat penghayatan dalam arti rangkap: pembaca tidak saja memberi hayat pada sajak yang dihadapinya, dia juga menerima hayat daripadanya, dihidupi olehnya. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />4. <strong>Kaidah Paradoks Kode</strong>. Dalam membaca sajak pembaca selalu menghadapi keadaan paradoksal. Pada satu pihak sebuah sajak merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya; sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain tidak ada puisi yang berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />5. <strong>Permainan Kejar-mengejar</strong>. Membaca puisi adalah semacam permainan kejar-mengejar antara sajak dan pembaca; sajak mengelak, mengejut, menyesatkan, meragu-ragukan si pembaca, tetapi si pembaca tak henti-hentinya berusaha menangkap sajak, mengembalikannya pada suatu yang dikenalnya, dipahaminya, menjadikannya wajar, koheren dan bermakna. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />6. <strong>Paradoks dan Ironi</strong>. Paradoks dan ironi adalah ciri khas, bahkan bisa jadi syarat mutlak sajak modern. Salah satu bentuk ironi yang bisa dilacak ketika membaca sebuah sajak adalah pertentangan antara bentuk dan makna, antara ungkapan dan fungsinya, dalam keseluruhan sajak. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />7. <strong>Klimaks Sajak.</strong> Sajak seringkali membeberkan semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki yang menentukan makna keseluruhannya, seringkali didapatkan oleh pembaca dalam bagian akhir sajak yang padanya bisa kita temukan beberapa kata atau ungkapan kunci.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">8. <strong>Defamiliarisasi.</strong> Pembaca puisi harus siap terkejut dengan usaha defamiliarisasi yang dibuat oleh penyair. Defamilirasisai atau usaha untuk menjadikan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak ramah, yang tidak akrab, atau dengan kata lain deotomisasi adalah ciri khas puisi.<br /></span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;">9. <strong>Hubungan Antarsajak.</strong> Sajak bisa dibaca, dipahami dan ditafsirkan sendiri, atau dengan memanfaatkan bahan atau data luar. Kadang ada hubungan batin antara beberapa sajak dalam karya lengkap atau sebuah kumpulan sajak seorang penyair. Ada kalanya penyair itu sendiri memberi petunjuk tentang hubungan antara dua atau lebih banyak sajak.<br /><br /><br /><strong>Bab 8. Bahasa Sajak<br /></strong>Pasal 10<br /><br />BAHASA, dengan segala tata dan tertibnya, tidak hanya bisa dipakai untuk menata dan menertibkan sajak. Penyair berkarya dengan memanfaatkan konvensi dan aturan tata bahasa, menggali potensi kreatif dan sensitif yang ada pada bahasa sepenuh-penuhnya menjadi kekuatan sajak.<br /><br /><strong>Bab 9. Sajak Gagal</strong><br />Pasal 11<br /><br />PADA prinsipnya bahasa puisi memang harus dapat dikembalikan pada yang bermakna dan kalau itu tidak mungkin untuk pembaca yang cukup peka, maka puisi itu telah gagal.<br />DENGAN kata lain, sebelum memutuskan sebuah puisi telah gagal atau berhasil, maka pertama yang harus dipertanyakan oleh pembaca adalah sudah sampai pada tingkat apakah kepekaan rasa dan minda puitiknya.<br /><br /><strong>Bab 10. Penutup</strong><br />Pasal 12<br /><br />6. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini tidak mengikat siapapun, khalayak pembaca dan penyair yang sama-sama terus mencari jalan untuk menikmati puisi hanya ingin diketuk dan diberi rangsang pemahaman untuk kemudian dibebaskan mencari jalan sendiri. </span></p><p align="center"><span style="font-size:85%;"><br />7. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini boleh ditaati dengan ikhlas, dijadikan panduan, dibantah, dilupakan atau dibuat tandingannya. Silakan saja.<br /><br /><br /><strong>Batam, September 2006</strong><br /><br /><span style="font-size: 85%;"><em><br />Dirumuskan oleh Hasan Aspahani dari naskah-naskah telaah puisi oleh A Teeuw, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer Maria Rilke, dll.</em></span></span></p><p align="center"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-size: 85%;"><em></em></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size: 85%;"><em>Diculik Dari <a href="http://sejuta-puisi.blogspot.com/2006/09/semacam-pengantarsaya-tidak-sedang.html">SEJUTA PUISI</a><br /></em></span> </span></p>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-59900589171412458622008-01-31T08:33:00.000-08:002008-01-31T08:39:15.538-08:00Dongeng Ritual Mandi dan Kedalaman Maksud<div style="text-align: justify;">Oleh <span style="font-weight: bold;">Dino Umahuk</span><br /><br /><a href="http://kemudian.com/node/7009">Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas</a> oleh <a href="http://kemudian.com/user/gheta">gheta</a><br /><br />Puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif sekaligus konotatif. Dibanding bentuk karya sastra lain, bahasa puisi lebih memilki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena terjadinya konsentrasi atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi yang sangat padat bersenyawa secara padu bagaikan gula dalam larutan kopi.<br /><br />S. Effendi menyatakan bahwa dalam bahasa puisi terdapat bentuk permukaan yang berupa larik, bait dan pertalian makna larik bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan dan peambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada „mood” atau „atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologi dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi 1982:xi)<br /></div><span id="fullpost"><br /><div style="text-align: justify;">**<br />Dalam kaitan itu, sebuah puisi berjudul Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas telah di kirim ke email saya oleh panitia KOPDAR 2 Kemudian.com. Puisi ini dikirim ke saya tanpa nama penulisnya. Mungkin ini kesengajaan dari panitia agar peresensi tidak mengetahui identitas penulis puisi. Namun karena tidak mengetahui siapa penulisnya, saya agak kesulitan untuk menerawang suasana kebatinan dan latar belakang lahirnya puisi ini. Tapi baiklah saya akan mencoba memberikan apresiasi yang mudah-mudahan tidak salah dan keliru.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya</span><br /><span style="font-style: italic;">Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari</span><br /><span style="font-style: italic;">Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua</span><br /><span style="font-style: italic;">Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup</span><br /><span style="font-style: italic;">Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip</span><br /><span style="font-style: italic;">Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti</span><br /><span style="font-style: italic;">Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan</span><br /><span style="font-style: italic;">Ritual mandinya belum tuntas</span><br /><span style="font-style: italic;">Kulit kaki belum lepas</span><br /><span style="font-style: italic;">Nanti malam masih dipakainya berjalan<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">Macul,14 Maret07</span><br />***<br /><br />Mandi secara harafiah berarti upaya seseorang untuk menyegarkan badan sekaligus membersihkan badannya dari berbagai jenis kotoran. Kenapa mandi, karena dalam puisi ini, secara implisit memperlihatkan upaya seseorang untuk membersihkan dirinya dari berbagai kotoran itu kotoran yang melekat di badan dan maupun kotoran jiwanya. Lihat bait-bait berikut:<span style="font-style: italic;"> Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua/ Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup/</span> penat disini bisa dikiaskan sebagai dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan kesadaran ini diperoleh setelah menyaksikan kematian <span style="font-style: italic;">/Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari/</span>. Setelah melihat bagaimana seorang hamba tak berdaya menghadapi maut, menghadapi takdir kematian. Setelah melihat betapa tak bisa apa-apanya sebuah kerangka manusia selain pasrah pada tanah kuburan.<br /><br />Dalam ajaran Agama Islam, mandi memiliki makna membersihkan diri dari hadas/najis, baik najis besar maupun najis kecil. Jika perpijak pada dua bait berikut: <span style="font-style: italic;">Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti/Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan/</span> maka mandi yang dimaksudkan si penyair dapat disebut sebagai upaya untuk membersihkan diri dari berbagai dosa karena usia yang semakin menua sebagaimana dikiaskan sebagai <span style="font-style: italic;">Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip</span>.<br /><br />Apa yang bisa saya simpulkan dari puisi yang coba saya hayati adalah sebentuk upaya membersihkan diri atau semacam cuci dosa. Dalam puisi ini sang penyair berupaya membersihkan disebabkan oleh dosa-dosanya di sepanjang usia sebagai makhluk yang berupaya dekat dengan Rabb, dengan Tuhan.<br /><br />Memang tidak semua penyair menulis sajak untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, dalam puisi Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas sang penyair, hemat saya, tengah berusaha merapatkan diri pada hakikat keindahan, kebenaran, dan kejernihan.<br /><br />Penyair yang kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran, tengah berusaha berjalan ke inti kehidupan, kepada Tuhan.<br /><br />Meskipun sang penyair sadar bahwa setelah pemandian, pensucian dan pertobatan, dosa-dosanya belum habis terkikis. Ini dikiaskan kembali dalam <span style="font-style: italic;">Ritual mandinya belum tuntas/Kulit kaki belum lepas</span>. Karena sebagai makhluk yang lemah, sebagai manusia yang doif, ia selalu dengan sangat gampang tergelincir untuk berbuat dosa. Sangat gampang untuk ditaklukkan kembali oleh nafsu dan setan.<br /><br />Sang penyair juga terpaku pada ketersadaran bahwa hari esok masih harus terus iya jalani sebelum ajal menjemput, sebagaimana di sampaikan pada bait penutup. <span style="font-style: italic;">/Nanti malam masih dipakainya berjalan</span>. Namun sayang ia tak tak memintal doa-doa sebagai bekal untuk melangkah.<br /><br />Entah berjalan kemana kita sesungguhnya sama-sama tak tahu. Hanya sang penyair yang mengerti hendak kemana nasib akan dibawa. Entah menuju ke langit dengan wajah selembut bidadari atau menuju neraka dengan wajah sehitam iblis.<br /><br />Wallahu a'lam bis Shawab.<br />Serambi Mekah, Jumat 24 Januari 2008<br /><br />Di culik dari Http://perkosakata2008.blogspot.com<br /></div></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-26386282634632331192008-01-24T01:27:00.000-08:002008-01-24T03:02:02.467-08:00Resensi Puisi 'Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas'<a href="http://perkosakata2008.blogspot.com/2008/01/resensi-puisi-dongeng-ritual-mandi-yang.html">Perkosakata2008</a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Oleh <span style="font-weight: bold;">Nanang Suryadi</span><br /><br /><a href="http://kemudian.com/node/7009">Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas</a> oleh <a href="http://kemudian.com/user/gheta">gheta</a><br /><br />Sajak ini berjudul: <span style="font-weight: bold;">Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas</span>. Dari judulnya, penulis menggiring pembaca untuk masuk ke dalam sebuah dongeng atau cerita. Sesuai dengan judulnya, sajak ini memang bercerita. Penulis menarasikan tentang suatu kejadian, yaitu tentang ritual mandi. Mengapa mandi menjadi suatu ritual? Jika ritual diterjemahkan sebagai suatu hal yang wajib dan rutin dilakukan dengan urut-urutan yang sama, mungkin memang dapat dikatakan bahwa mandi merupakan ritual bagi seseorang. Mari kita simak sajak Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas.<br /></div><span id="fullpost"><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;">Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya</span><br /><span style="font-style: italic;">Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari</span><br /><span style="font-style: italic;">Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua</span><br /><span style="font-style: italic;">Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup</span><br /><span style="font-style: italic;">Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip</span><br /><span style="font-style: italic;">Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti</span><br /><span style="font-style: italic;">Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan</span><br /><span style="font-style: italic;">Ritual mandinya belum tuntas</span><br /><span style="font-style: italic;">Kulit kaki belum lepas</span><br /><span style="font-style: italic;">Nanti malam masih dipakai jalan</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Macul,14 Maret07</span><br /><br />Dalam sajak ini siapa subyeknya? Pada baris pertama, hanya muncul “kulit lusuh”. Apakah “kulit lusuh” sudah mencukupi, sepertinya tidak. Mungkin, akan lebih baik jika dimunculkan “subyek” yang memiliki “kulit lusuh” ini, di awal sajak. Karena akan menjadi ganjil ketika sang subyek alias “ Ia” muncul tiba-tiba di baris kedua dan baris ketiga. Secara teknis, susunan kalimat atau frasa masih perlu diperbaiki. Misalnya kalimat: Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari. Apa yang kurang dari kalimat ini? Mungkin pembaca dapat menunjukkannya jika melihat dengan menggunakan kadiah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.<br /><br />Menurut saya, sajak ini dapat menjadi lebih bagus lagi, jika penulisnya mau mencoba untuk masuk ke dalam sajaknya tersebut dan membuang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Saya sangat menghargai kemauan penulisnya untuk mencoba menciptakan frasa-frasa unik, misalnya: “keringat tersimpan rapi”, “siku hidup” Permainan bunyi juga sudah terasa, misalnya: “penat terlihat” namun masih kurang dikembangkan.<br /><br />Begitulah kesan saya pada sajak ini.</div></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-5903158223509784352007-11-22T22:37:00.000-08:002008-01-24T02:39:48.739-08:00Enam Tahap Mengakrabi Puisi<span class="content"> <b>[Ruang Renung # 175] Enam Tahap Mengakrabi Puisi</b></span><br /> <span class="tiny"><b>Tanggal:</b> Wednesday, 14 February 2007<br /><b>Topik:</b> Esai Sastra</span><br /><br /> <span class="content"> <em><strong>Oleh: <a href="http://sejuta-puisi.blogspot.com/">Hasan Aspahani</a></strong></em><br /><br />1. Tahap Tahu Puisi. Ini tahap awam. Sebagian besar orang berada pada tahap ini. Sebagian besar orang pernah membaca satu dua bait atau satu dua puisi. Paling tidak orang bertemu puisi dalam pelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Orang yang tahu puisi, bukan orang yang peduli pada puisi. Ia bisa hidup nyaman-nyaman saja tanpa puisi. Dia dan puisi adalah dua orang tak saling kenal yang kalau bertemu tak perlu harus menggelar perbincangan, bahkan mungkin tak perlu bersapaan.<br /><br />2. Tahap Kenal Puisi. Orang yang kenal puisi mulai sering membaca - bukan meresitalkan - puisi, meskipun tidak rutin. Dia ingat beberapa nama penyair dan puisinya. Dia suka menuliskan puisi sendiri, untuk diri sendiri, atau untuk orang-orang terdekatnya saja. Puisi baginya seperti ibadah sunat, dikerjakan dapat nikmat, tidak dikerjakan tidak berkurang nikmatnya. Dia dan puisi seperti kawan yang saling sapa dan menjabat tangan kalau bertemu. Saling bertanya kabar, meskipun kadang hanya tanya berbasa-basi.<br /><br />3. Tahap Perlu Puisi. Pada tahap ini seseorang mulai menganggap puisi sebagai kebutuhan. Dia rutin menulis dan membaca puisi. Dia mengoleksi buku puisi. Dia ingin tahu lebih banyak tentang hakikat puisi. Dia mulai bisa merasakan mana puisi bagus, dan mana puisi buruk, dan bisa menunujukkan keunggulan dan kelemahan puisi itu. Dia menulis puisi dan mulai peduli apa pendapat orang tentang puisinya. Dia menikmati penulisan puisi itu. Dia butuh menulis puisi. Puisi ibarat orang yang dia taksir dan ingin dia pacari. Dia belum menyatakan cintanya, tapi dia ingin tahu banyak dan seperti terseret untuk lebih dekat, lebih banyak kenal.<br /><br />4. Tahap Mahir Puisi. Pada tahap ini, orang sudah percaya diri menunjukkan puisinya pada orang lain. Puisinya tersiar di beberapa terbitan. Puisinya tergabung pada beberapa antologi. Dia telah menerbitkan puisi. Dia suka memperhatikan puisi-puisi orang lain, untuk menambah akemahirannya berpuisi. Dia suka meresitalkan puisinya atau puisi orang lain. Dia mulai tahu bagaimana puisi yang baik dan terus menerus ingin memperbaiki puisinya. Secara teknis dia tak bermasalah lagi dengan puisi. Dia telah membuka diri bahwa dia telah menjalin hubungan khusus dengan puisi. Dia telah memacari puisi.<br /><br />5. Tahap Cinta Puisi. Dia telah menemukan dirinya dalam puisi. Dia mencintai puisi seperti mencintai dirinya. Dia menghargai dirinya dengan lebih baik, sebaik dia menghargai puisinya dan puisi lain yang ditulis orang lain. Dia menulis puisi untuk meyakinkan bahwa dirinya berharga untuk terus ada. Dia ingin orang lain membaca puisinya seperti orang membaca dirinya. Dia bisa membuat orang menghargai puisinya seperti menghargai dirinya. Dia membaca puisi orang lain dan dengan nyaman juga seperti bertemu bagian-bagian dari dirinya ada dalam puisi itu. Dia seperti telah menikahi puisi. Dia berumah tangga dan membangun kehidupan yang berbahagia dengan puisi.<br /><br />6. Tahap Arif Puisi. Ini tahap tertinggi. Orang yang sudah mencapai kearifan berpuisi. Dia tak ada beban lagi harus menulis puisi atau tidak, tapi dia terus saja menulis puisi sebagai laku hidup, seperti bernapas. Puisi itu penting buatnya tapi dia melakukannya tanpa beban apa-apa. Dia tak ingin mencapai apa-apa lagi lewat puisi karena dia telah mencapai Puisi. Dia seperti telah memahami hakikat yang Mahapuisi. Menyebut namanya, orang langsung mengingat puisi-puisinya. Dia sendiri telah menjelma menjadi semacam puisi juga. Menyebut puisi, orang bahkan dengan mudah jadi teringat pada dia juga.<br /><br /><br /> <br /><br /> <br /></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-38214419138366596552007-09-14T01:19:00.000-07:002008-01-24T02:38:19.366-08:00Ketika Puisi menjadi Cermin<span style="font-size:130%;"><span style="font-family:georgia;">catatan setelah membaca beberapa puisi<br />Oleh Dedy T Riyadi<br /></span></span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >hitamkah pagi tuan?</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >saat bayanganmu memanjang,</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >mengikuti dengusmu</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >di tulang mana kau lencangkan bakti?</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >tak nampakpun derapnya,apalagi derunya</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >…</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >: mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >(Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH)</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menjadi puisi cinta, puisi religi, atau puisi protes sosial, dan bahkan puisi yang dihubung-hubungkan dengan ideologi dari si penyairnya itu. Jika pada hakikatnya puisi adalah hasil permenungan pribadi, tak ayal puisi telah menjadi cermin dari kepribadian si penyair. Misalnya ketika membaca sajak berikut ;</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >kita hanyalah rumpun ilalang</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >pada akar kita menumpang hidup</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >(Kepada Kering – Pakcik Achmad)</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">dengan prinsip puisi sebagai cermin kita bisa menduga bahwa si penyair adalah orang yang jeli dalam melihat sesuatu. Tak mungkin akar ilalang muncul begitu saja tanpa pengamatan dan permenungan yang dalam. Ilalang adalah rumput yang sukar untuk diberantas pertumbuhannya karena kemampuan akarnya yang tahan pada cuaca dan kondisi ekstrem. Apalagi ternyata setelah saya berbincang dengan penyairnya, dia mengatakan ilalang itu bisa tumbuh dengan hara yang sangat minim. Dan sajak-sajak Pakcik Achmad yang lainnya juga mencerminkan hal yang sama; kejelian menangkap esensi dari sesuatu. Seperti sajak ini;</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >kusibak enam,</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >: satu kulambung –</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" > lima kuserak</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >kuhimpun enam,</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >: satu kutangkap –</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" > limaku terserak</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >(Serimbang – Pakcik Achmad)</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Serimbang adalah permainan tradisional masa kecil. Mirip dengan permainan bola bekel hanya tak menggunakan bola. Permainan yang mengandalkan keahlian tangan untuk menangkap dan menyebarkan bebijian / bebatuan. Tinggal tergantung pembaca untuk memaknai apakah yang dimaksud dengan biji/batu yang diserak-himpunkan oleh si aku liris dalam puisi ini. Nasibkah? Pe-kerjaankah? Silakan menerka.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pun kita merasa diajak mencari sebuah kekosongan yang dialami penyair seperti Gita dengan mem-baca suasana pada salah satu puisinya ;</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Ladang gersang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Dan kau, ilalang</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Tiba tiba hilang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Malam terang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Dan aku, bintang</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Dengan mata nyalang</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >: Mencari</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >(Yang Hilang – Gita Pratama)</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Si aku-liris jelas sekali telah berusaha maksimal mencari keberadaan si dia-liris yang diibaratkan dengan rumpun ilalang di ladang gersang yang tiba-tiba menghilang. Dan dengan setianya si aku-liris menunggu walau sudah malam. Dan usahanya terasa maksimal ketika si aku-liris menjadi sebuah bintang yang terang hanya untuk mencari dia-liris yang hilang.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Akan tetapi mengibaratkan sebagai cermin untuk menduga-duga makna sebuah puisi terasa tidak maksimal ketika menjumpai puisi-puisi seperti ini ;</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Rumah berkulit megah dan berkelamin</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >gerigi baja itu - di setiap uratnya berdaging kaca -</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >terukir mantra-mantra pengikat tujuh wujud kematian yang</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >ditakuti kehidupan. Adalah kebebasan akan terjadi</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >dari sana (diatas perbudakan sisa jiwa</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >terkurung). Empat nafas terjebak di kemegahan itu, meronta</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >dalam pelarian dibalik jeruji kematian. Menyadar</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >diri dirajam purnarupa paruh ajal, empat</span><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >nafas melacur hati demi penghancuran malapetaka dunianya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >(Empat Nafas – Leonowens SP)</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Saya tidak membayangkan melihat sebuah rumah dengan bentuk yang aneh (yang punya kulit juga punya kelamin bergerigi baja, bahkan berurat daging kaca) yang dijagai oleh mantra-mantra suci untuk mengikat kematian, di mana ada empat orang (empat nafas) yang terjebak dan ingin lari. Dalam puisi-puisi seperti ini, saya hanya mencoba merasakan bahwa ada semacam keputusasaan yang dirasakan oleh si aku-liris yang diimajikan sebagai empat nafas sehingga si aku-liris harus melakukan hal yang bertentangan dengan jiwanya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Oleh karena puisi dapat difungsikan sebagai cermin bagi pembaca untuk meneroka sampai pada pribadi penyair, apakah sebaiknya penyair mulai tekun untuk membuat baik dirinya maupun pesan dalam puisinya tidak transparan? Atau jika ada yang berpendapat tak perlu berindah-indah menyampaikan pesan seperti puisi-puisi yang beraliran realis, maka kita sebagai pembaca tak perlu repot-repot menggunakan cermin, tinggal kita lihat penyairnya; “Sudahkah dia rapi seperti puisinya?”</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Jakarta, 14 September 2007.<br /><a href="http://toko-sepatu.blogspot.com/2007/09/ketika-puisi-menjadi-cermin-catatan.html">http://toko-sepatu.blogspot.com/</a><br /></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-25673580201441947312007-09-13T04:58:00.000-07:002008-01-24T02:32:39.306-08:00Kegagapan Calon Penyair oleh Hasan Aspahani<b>[Ruang Renung # 229] Kegagapan Calon Penyair</b> <span style="font-size:85%;"><br />Ada surat pembaca di majalah Gong No. 93 Agustus 2007. Surat itu saya kira cukup mengharukan. Si pengirim Dadang Ari Murtono dari Komunitas Sastra Pondok Kopi, Mojokerto.<br /><br />Surat pembaca itu begini, kita kutip seutuhnya:<br /></span><blockquote><span style="font-size:85%;"><i>Sebagai seorang penyair muda atau lebih tepatnya calon penyair, saya sering mendengar tentang Makalah Gong dari penyair-penyair yang lebih senior dan saat ini ketika ruang sastra di koran-koran minggu dan majalah-majalah sastra dipenuhi puisi "gelap" atau beraliran "goenawan" dan tidak memberikan sedikitpun tempat bagi puisi protes atau genre puisi selain puisi lirik/suasana, maka harapan saya sebagai pembaca, Majalah Gong bisa memberikan kesempatan kepada puisi-puisi yang "terpinggirkan" tersebut sehingga bisa menjadi penyimbang bagi lembar sastra media-media besar lainnya. Demikian semoga Majalah Gong semakin suskses. Terima kasih.</i></span></blockquote><span style="font-size:85%;"><br />1. Penyair Agus R Sarjono pernah bilang, kalau ingin tahu kualitas penyair, maka lihatlah tulisannya selain puisi. Eseinya atau prosanya. Kalau eseinya bagus, ada harapan ia menulis puisi yang bagus. Penyair yang bagus, katanya, adalah penulis esei yang bagus. Bila surat pendek ini kita anggap sebagai esei pendek, maka sungguh ini bukan sebuah esei yang baik. Surat ini hanya terdiri dari tiga kalimat. Satu kalimat panjang sekali, terdiri atas 77 kata. Kalimat lain hanya terdiri atas enam dan dua kata. Repot sekali mengikuti apa maunya kalimat panjang yang pertama itu. Mestinya kalimat itu bisa dipenggal menjadi lima atau enam kalimat yang lebih nyaman dibaca dan ditangkap isinya.<br /><br />2. Dengan mengesampingkan kekalutan kalimat panjang itu, maka yang mengharukan adalah ternyata di Mojokerto, dan di mana-mana saya rasa, di Indonesia ini, banyaklah anak muda seperti Dadang Ari Murtono (ia lahir tahun 1984). Anak muda yang menggerakkan komunitas sastra dan dengan sadar - mungkin juga bangga - menyebut diri penyair muda atau calon penyair. Ada sejumlah risiko dalam penyebutan itu. Saya kira Dadang asyik saja dengan sebutan itu, tanpa terlalu memperhitungkan apa risikonya.<br /><br />3. Dadang dan mungkin banyak penyair muda lainnya, gampang dihinggapi wasangka. Wasangka Dadang di surat ini adalah 'ruang sastra di koran-koran minggu dipenuhi oleh sajak "gelap". Lebih menarik lagi ia mengataukan "Sajak gelap" itu sebagai "sajak beralirah goenawan". Yang dia maksud mungkin sajak-sajak Goenawan Mohamad. Benarkah?<br /><br />4. Karena tuduhan di butir ketiga tadi, maka Dadang lantas menyimpulkan bahwa tidak ada tempat lagi untuk "sajak protes" atau sajak lain selain "sajak lirik/sajak suasana".<br /><br />5. Akibatnya dari butir ketiga dan keempat tadi, maka ada ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan apa? Saya tak tahu pasti, tapi Dadang berharap Majalah Gong bisa menjadi penyimbang itu. Mungkin ketidakseimbangan yang ia maksud adalah keragaman gaya-gaya sajak.<br /><br />6. Di majalah yang sama Majalah Gong memuat tiga sajak Dadang. Sajak-sajaknya tertulis dipersembahkan untuk alrmarhum anaknya. Dan sajak-sajaknya bukanlah sajak-sajak protes! Kalau memakai tuduhan-tuduhannya di suratnya di atas, maka sajak-sajaknya tadi menurut saya adalah "sajak lirik" atau "sajak suasana" atau "sajak aliran goenawan" dan dengan demikian juga adalah "sajak gelap".<br /><br />Ah anak muda, ah penyair muda, ah calon penyair, jangan gagaplah. Jadilah penulis esei yang baik - mulailah dengan menulis surat pembaca yang baik - dan mulailah berhitung risiko setelah Anda berani menyebut diri sebagai calon penyair atau penyair muda.<br /><br /><br /><br /><br /></span> <span style="font-size:78%;"><span class="kecilan"> Hak cipta pada <a href="http://sejuta-puisi.blogspot.com/2007/09/ruang-renung-229-kegagapan-calon.html">hasan aspahani</a></span></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-45771685607465598602007-04-22T02:50:00.000-07:002008-01-24T02:29:52.544-08:00Enam Diktum GoenawanPasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi.<br />Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya<br />dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada<br />orang lain, pembacanya.<br /><br />Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang<br />mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan<br />suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya<br />bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada<br />dalam komunikasi.<br /><br />Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh<br />pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan<br />atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang<br />tidak pantas dihargai.<br /><br />Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah<br />ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba<br />terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan<br />penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya<br />bagi dirinya sendiri.<br /><br />Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja<br />membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak<br />adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi<br />dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi<br />percaya pada dirinya sendiri.<br /><br />Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara<br />"kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan<br />"tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca",<br />tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.<br /><br />* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi"<br />tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan<br />Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-88548682381225790502007-04-16T00:30:00.000-07:002008-01-24T02:17:43.347-08:00[Ruang Renung # 190] Mengisi Hidup, Menjaring Inspirasi<div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;">DARI mana datangnya inspirasi untuk sebuah puisi? Bagaimana mendapatkan inspirasi? Inspirasi itu harus ditunggu atau diburu? Kenapa seringkali kalau diburu-buru inspirasi malah mati? Kenapa banyak peristiwa hebat dan unik tidak menggerakkan seseorang menulis puisi? Kenapa ketika seseorang sudah bersiap dengan komputer aktif dan tangan siaga di papan ketik, eh puisi tak juga tercipta karena inspirasi tak datang-datang juga? Inspirasi puisi itu berasal dari rasa hati atau dari nalar pikiran? </span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Apakah hidup yang rutin harus dilabrak agar inspirasi mengalir? Apakah penyair harus menjadi bengal agar dari kebengalan lakunya itu ia mendapatkan inspirasi? Atau penyair harus merenung sendiri, menyepi menjauh dari kehidupan? Apakah penyair harus menghindari keteraturan hidup? Apakah kemoratmaritan hidup adalah lahar subur bagi inspirasi? </span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Saya tidak bisa tidak kecuali setuju saja dengan apa yang dipaparkan oleh W.S. Rendra. Soalnya, kata beliau, bukan bagaimana mencari inspirasi itu, tapi bagaimana pengarang harus membuat hidupnya berisi, sehingga ia akan selalu kaya akan rangsangan-rangsangan untuk membuat karangan-karangan. "Ia harus selalu berhadapan dengan masalah," kata Rendra. </span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Ya, saya sepenuhnya setuju pada Tuan Rendra. Buatlah hidup kita berisi, dan kita harus senantitasa berhadapan dengan masalah. Itulah kuncinya. Kita tidak mencari masalah, sebab hidup toh selalu bermasalah. Menghadapi masalah, berarti menyadari bahwa masalah itu ada dalam hidup kita. Kita tidak perlu menghindarinya, kita tidak boleh mengabaikannya, kita jangan pura-pura melupakannya. Tapi kita juga tidak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah. </span><br /><br /><span style="font-size:85%;">Ya, hadapilah masalah. Dengan gagah tapi tidak dengan pongah. Dengan begitu, hidup kita akan berisi. Terus-menerus terbaharui. Dari kehidupan yang penuh dan membaru itu, kita menjadi kaya dan rangsangan untuk membuat karangan: puisi-puisi dan kisah-kisah, terus mengada. Terus mengada, tapi tidak mengada-ada.<br /><br /></span></div><span style="font-weight: bold;font-family:arial;font-size:100%;" ><span class="kecilan"> hasan aspahani</span></span>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-30949304565501617702007-01-31T01:39:00.000-08:002008-01-24T02:12:38.405-08:00Kepaduan Teks Puisi (Koherensi) oleh Hasan aspahani<p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/1/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">KEPADUAN teks puisi, juga yang bukan puisi, bisa ditilik dari kohesi dan koherensi pada teks tersebut. Yang pertama melihat kepaduan unsur-unsur di dalam teks itu sendiri, yang kedua melihat hubungan antara teks dengan faktor di luar teks tersebut. Sebuah teks tidak koheren apabila tidak ada keberterimaan dalam teks tersebut. Keberterimaan itu ditentukan oleh pengetahuan bersama (shared-knowledge) di luar teks yang disebut konteks bersama (shared-context). Ketika mengutak-atik koherensi di dalam puisinya, penyair benar-benar diuji.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p><br /></o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/2/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Jika koherensi ini menjadi pertimbangan ketika menulis puisi, maka penyair sebenarnya adalah orang yang sadar dan pandai mengukur seberapa banyakkah pengetahuannya dan pengetahuan orang yang kelak membaca puisinya berada dalam wilayah "bersama".<span style=""> </span>Penyair boleh sesekali merendah, tapi<span style=""> </span>tidak harus selalu merendah, apalagi sampai menganggap pembacanya<span style=""> </span>berpengetahuan miskin alias tak sekaya pengetahuan yang ia miliki. Wilayah pengetahuan bersama itu abstrak. Di situlah asyiknya puisi, yaitu ketika penyair mengepas-ngepaskan di mana letak puisinya di wilayah "pengetahuan bersama" itu. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/3/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Penyair seringkali menantang pembaca puisinya untuk masuk ke wilayah pengetahuan bersama yang ia tawarkan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> pembaca yang menolak untuk masuk ke tawaran wilayah baru itu, ada pembaca yang sukarela melibatkan diri, ada pembaca ikhlas menerima, ada pembaca yang menciptakan wilayah sendiri yang bukan wilayah yang dimaksudkan oleh penyair. Pembaca adalah pencipta koherensi sendiri pada teks puisi yang ia hadapi. Bebas saja.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/4/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Tapi jangan terlalu asyik pada permainan koherensi itu saja. Ini permainan. Penyair boleh menciptakan sajak yang seakan-akan abai pada koherensi. Sesekali, ya sesekali, penyair boleh saja berakrobat kata-kata. Melompat keluar masuk dari wilayah "pengetahuan bersama". Sesekali, ya sesekali, apa salahnya berakrobat? Barangkali dari akrobat itu terpicu imajinasi yang lebih liar untuk sajak-sajaknya berikutnya. Tapi, jangan akrobat itu langsung disodorkan kepada pembaca, apalagi pembaca dipaksa untuk menerima itu sebagai sebuah keberhasilan atau penemuan pengucapan baru. Pada saat penyair menyodorkan hasil percobaan pengucapannya kepada pembaca dia mestinya sudah yakin bahwa memang ada sesuatu yang berharga untuk ditempatkan di wilayah bersama. Mungkin sesuatu yang baru itu makan waktu untuk diterima. Tak apa-apa.<span style=""> </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/5/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Selain pengetahuan bersama, ada hal lain di luar bahasan linguistik yang khas pada puisi, yaitu wilayah perasaan yang sama. Tepatnya: serupa tapi tak sama, sebab tidak pernah ada perasaan yang persis sama. Penyair dalam sajak-sajaknya berusaha menggenerikkan perasaaannya yang khas. Bila upaya itu berhasil, maka pembaca kemudian bisa dan ikhlas mengidentikkan perasaannya yang juga khas kepada apa yang sudah digenerikkan oleh penyair itu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/6/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Ketika menulis sajak "Pada Album Miguel De Covarobias" dan sajak "Untuk Frida Kahlo", saya kira penyair Goenawan Mohamad tidak mempertimbangkan apakah pembacanya tahu siapakah tokoh yang namanya ia jadikan judul itu sajak. Dia pasti tidak peduli apakah pengetahuannya itu berada di wilayah bersama dengan pengetahuan pembaca sajak-sajaknya. Saya sendiri yakin si penyair punya pengetahuan banyak tentang nama yang ia tulis. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Pasti ada yang memukau dari nama itu sehingga ia sajakkan. Covarobias adalah seorang traveler Meksiko yang menulis tentang buku Bali dan kemudian membuat <st1:place st="on">Bali</st1:place> masyhur dalam khazanah pelancongan dunia. Kahlo adalah pelukis wanita beraliran surealis yang juga berasal dari Meksiko. Bergunakah pengetahuan itu ketika membaca sajak tersebut? Dengan mengambil contoh dua sajak diatas, jawabannya bisa ya, bisa tidak. Bisa digunakan, bisa tidak. Dia bisa menjadi konteks yang mengikat, dia bisa juga dilepaskan untuk dicarikan konteks lain. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/7/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> pembaca yang rajin berburu konteks pada teks-teks puisi-puisi penyair yang mereka baca. Jika mereka tak menemukan konteks yang mereka butuhkan - dengan kata lain pembaca itu tidak bisa memberi makna yang memadai, dan tidak bisa mengambil manfaat dari sajak itu - maka mereka menjatuhkan vonis mati kepada sajak yang mereka baca, atau bahkan pada penyair yang menulis sajak itu. Itu risiko menyair. Hadapi saja. Ketika dibunuh oleh sekelompok pembaca, bukankah penyair dan sajak-sajaknya mungkin diberi tempat yang nyaman oleh sekelompok pembaca lain? Penyair bahkan disebut-sebut telah mati di hadapan sajaknya sendiri, setelah ia selesai melahirkan sajak itu, bukan? Mati di hadapan sebuah sajak, penyair tetap hidup untuk melahirkan sajak berikutnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/8/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Soal manfaat sajak - dan karya sastra umumnya - sudah lama menjadi bahan kajian dan debat. Horatio menulis buku "Ars Poetica" pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah "dulce" atau nikmat, dan "utile" alias bermanfaat. Mana yang lebih penting antara keduanya? Itu menarik untuk dipermainkan. Kedua hal itu bisa pula ditarik ke ranah yang lebih luas. "Utile" berlanjut pada debat yang moralis, "dulce" bisa diseret ke ranah estetis. Sedang apakah manfaat dan apakah indah sendiri sudah bisa memancing sebuah debat panjang dan tak habis-habis. Saya kira penyair tak perlu terlalu pusing. Ia lebih baik menyibukkan diri dengan menerjemahkan apakah yang "dulce" dan "utile" itu dengan sajak-sajaknya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/9/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Penyair Subagio Sastrowardoyo ada menulis sajak yang amat bagus tentang peran penyair dan tuntutan "utile" pada sajak-sajaknya. Sajak "Mata Penyair" itu dibuka dengan bait: //Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk <st1:place st="on"><st1:city st="on">kota</st1:city></st1:place>. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."// Penyair memang sering mengambil peran sebagai orang yang ambil risau. Ia risau bahkan risau pada peran dan posisinya sendiri. Ia risa pada tuntutan-tuntutan pihak luar yang dialamatkan padanya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/10/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Sajak "Mata Penyair" Subagio Sastrowardoyo menggambarkan adegan rakyat miskin yang merangsak kemuka. Kami ingin matamu, kata rakyat miskin itu kepada penyair. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butur pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Tuntutan yang mencemaskan. Wajar jika penyair dalam sajak itu mencamtumkan pembelaan bahwa tanpa mata penyair menjadi buta. Tapi rakyat yang putus asa tak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya. "Dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya..." Tapi tak terjadi perubahan. Pasir tetap pasir bukan emas. Rakyat miskin kecewa dan merebut kedua bola mata itu dan melahapnya. Setelah itu? Juga tidak terjadi apa-apa.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">/11/</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Dari wilayah pengetahuan bersama, dari daerah kerisauan bersama, penyair memberangkatkan teks sajak-sajaknya. Dari wilayah itu pula datang tuntutan kepada penyair. Tak usah mengelak, tak perlu pula sok hebat melayani tuntutan itu seakan pasti kita bisa memenuhinya. Sebaiknya berperanlah sebagai penyair buta sebagaimana digambarkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya "Mata Penyair" tadi. Penyair telah menyerahkan matanya, memenuhi tuntutan "rakyat miskin". Tak terjadi apa-apa. Dan sajak itu lalu menggambarkan: "Penyair yang buta duduk di jendela dan tertawa menghadap <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city>. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!"<span style=""> </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Bacaan:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">1. Mohamad, Goenawan. "Misalkan Kita di Sarajevo". Cetakan Pertama, 1998. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Penerbit Kalam.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">2. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 100-101. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Gramedia Pustaka Utama.<span style=""> </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">3. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 78. 2005. Cetakan Pertama. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Gramedia Pustaka Utama.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">4. Sastrowardoyo, Subagio. "Dan Kematian Makin Akrab". Halaman 133. 1995. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: PT Grasindo.<span style=""> </span></p><div style="text-align: justify;"> </div>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-72659459129630514022006-12-24T00:30:00.000-08:002008-01-24T02:11:07.553-08:00Sutardji: Antara Pesan dan PengungkapanSutardji: Antara Pesan dan Pengungkapan <br /><span style="font-weight: bold;">Dari Hasan Aspahani (milis penyair, tgl 8sept 2006)</span><br /><br />1. Puisi tentu saja boleh menampilkan suara zamannya, tetapi ia bukan budak zaman. Puisi selalu berdepan-depan dengan zaman. Penyair tidak tercakup atau tertunduk pada sejarah, malah ia mencipta sejarah.<br /><br />2. Puisi tidak teraih hanya dengan sekadar menghiraukan pesan, isi, dan atau tema. Puisi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya, bila tidak, maka yang dihasilkan adalah puisi yang tidak menghiraukan puisi.<br /><br />3. Puisi boleh diniatkan kosong dari tema atau tanpa pesan. Puisi yang demikian ini bisa jadi hanya berupa rangkulan akrab terhadap ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata. Tapi jika dibuat padu dan utuh, terkendali, menarik dan cantik serta unik, maka pembaca akan segera sibuk mencarikan pesan atau makna pada sajak itu.<br /><br />4. Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apapun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil.<br /><br />5. Puisi boleh dibuat seperti memotret kenyataan. Tapi puisi yang baik bukan potret yang datar. Ada nilai plus yang diharapkan bisa didapat ketika menatap atau membaca puisi potret tadi. Jika tidak maka pembaca tentu lebih suka menatap langsung pada kenyataan.<br /><br />6. Cara mengungkap atau cara mengucap, adalah salah satu unsur penting mendapatkan nilai plus dalam sebuah sajak.<br /><br />* Dari Perihal Sajak yang Tak Dimuat dalam buku Sutardji Calzoum Bachri Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-27772300650703837572006-12-18T07:37:00.000-08:002008-01-24T02:06:25.771-08:00Menyelidik Diksi<div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">hasan aspahani <<a href="http://aa.f334.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=hasanaspahani%40yahoo.com" target="_blank">hasanaspahani@ yahoo.com</a>><br />[Ruang Renung # 169] Menyelidik Si Diksi<br /><br />MUNGKIN berlebihan kalau dibilang kerja menyair pada intinya adalah mendiksi. Memilih kata yang tepat untuk mengucapkan sesuatu. Tema-tema sajak berulang dari satu penyair ke penyair. Selain menggarap tema-tema baru, bisakah kita menghindar dari tema cinta, maut,rindu, kesepian, ketidakadilan, atau ketuhanan? Bagaimana cara menyajakkan tema itu, itulah yang jadi taruhan keberhasilan sajak kita. Dengan kata lain bagaimana tema itu diucapkan. Dengan kata lain kata apa yang dipakai atau dipilih untuk mengucapkan tema<br />itu. Dengan kata lain: diksi.<br /><br />BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tidak punya pilihan yang banyak? Maka, perkayalah diri kira dengan kata, supaya leluasa memilih. Leluasa mendiksi. Tapi, jangan pula kita jadi orang kayakata yang sombong. Mentang-mentang punya banyak kata lalu sok mengumbar kata-kata di sembarang sajak biar dibilang hebat. Apalagi kalau kata-kata itu kita dapat dengan cara yang tidak bajik dan tidak baik. Apalagi kalau kita cuma sok memiliki kata itu padahal kata itu sendiri tak pernah merasa menjadi milik kita.<br /><br />BUKANLAH itu maunya diksi. Diksi itu memilih. Sebelum kita memilih tentu kita harus akrab dulu dengan apa yang kita pilih. Supaya dia ikhlas dan mendukung niat pengucapan kita. Dengan kata lain mencari kata yang paling pas untuk dipakai pada waktu yang pas.<br /><br />BAGAIMANA kalau kita mau mengucapkan dengan kata-kata sembarang saja? Kalau pengucapan dengan cara itu dilakukan dengan sadar, artinya memang menjadi pilihan di antara pengucapan-pengucap an lain yang kita punya, itupun diksi juga namanya, asal sembarang kata tadi tetap membuat pengucapan kita sampai juga pada niat sajak kita.</p>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-50941357483471797872006-12-18T07:34:00.000-08:002008-01-24T02:00:01.107-08:00Kredo Sutardji<h1 style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;" align="center"><span style="" lang="SV">SUTARDJI CALZOUM BACHRI<o:p></o:p></span></h1> <h1 style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;" align="center"><i><span style="" lang="SV">Kredo Puisi</span></i><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></h1> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor<i>(obscene)</i> serta penjajahan gramatika.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Sutardji Calzoum Bachri<o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><span style="" lang="SV">Bandung, 30 Maret 1973.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p>Gita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7027704285663131112.post-57219056993445936372006-12-18T07:27:00.000-08:002008-01-24T01:50:00.098-08:00Ikhwal penyair dan Ikhwal Sajak1 . Ikhwal Penyair<br /><br />Di dalam dunia yang cenderung tidak memiliki tradisi membaca dan<br />tidak cukup memahami makna puisi, maka status kepenyairan tidak<br />mungkin bergantung atau diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan<br />pandangan pembaca. Otoritas atas kepenyairan ada pada tangan penyair<br />itu sendiri, yaitu pada keadaan di mana seorang penyair dapat<br />menggali seluruh potensi yang dimilikinya untuk melahirkan dirinya<br />sendiri. Karena itu tidaklah mungkin seorang penyair lahir dari<br />sebuah situasi kekosongan.<br /> Ia hanya mungkin lahir dari sebuah perenungan atau pemikiran yang<br />sublim. Dan bila pun kemudian ia terpaksa muncul dari sebuah situasi<br />kekosongan, ia tidak akan mungkin bertahan dalam keadaan sedemikian<br />rupa itu terus-menerus tanpa ada upaya untuk melepaskan diri dari<br />belenggu yang mengungkung dirinya.<br /> Seorang penyair harus mampu memberikan makna bagi dirinya sendiri<br />dan terutama bagi karya-karyanya, karena ia mengemban amanat besar<br />untuk mengkomunikasikan realitas psikologis maupun sosiologis dari<br />dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai<br />bagian dari masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya, maka seorang<br />penyair harus mampu membebaskan kata-kata sebagai media utama dari<br />komunikasi verbal yang hendak ia nyatakan di dalam penulisan karya-<br />karya sajaknya itu. Baik dari kungkungan penjara ilusi yang berasal<br />dari luar dirinya sebagai hasil rekayasa kekuasaaan, maupun dari<br />keterbatasan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya seorang penyair harus<br />berusaha keras menjaga agar kata-kata di dalam sajak-sajaknya itu<br />mampu tampil sebagai sebuah bentuk komunikasi timbal balik antara<br />dirinya sendiri dengan masyarakat yang membaca karya-karyanya.<br /> Sudah menjadi tugas seorang penyair untuk mengatasi keterbatasan<br />media di dalam penulisan puisinya dan sekaligus keterbatasan media<br />kata itu sendiri. Sajak harus menemukan pintu keluar dari kemampatan<br />ini, yaitu dari segenap kecurigaan yang telah merasuki kalangan para<br />penyair sendiri yang menyatakan bahwa selama ini kata telah mati dan<br />demikian pula dengan puisi. Penyair harus sampai pada kesadaran baru<br />untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, bukan lagi<br />sebatas angan-angan, atau sekedar sebagai mimpi dan ilusi. Karena<br />ilusi atau mimpi sekalipun bila ia tampil di dalam sajak harus dapat<br />merepresentasikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang inspiratif dan<br />memberi nafas serta nuansa yang baru dalam khazanah sastra kita,<br />yaitu pembaharuan penulisan puisi yang bisa terlihat, terdengar serta<br />teraba getarannya. Sehingga mimpi itu kemudian dapat tampil sebagai<br />sebuah gambaran nyata dari realitas kehidupan.<br /> Masuknya budaya visual lewat media elektronik dan grafis tidak<br />harus menggoyahkan otoritas kata sebagai media komunikasi verbal.<br />Disinilah sesungguhnya letak tantangan kreativitas yang terbesar yang<br />menanti para penyair, yaitu pada upaya bagaimana ia dapat menampilkan<br />puisi-puisi karyanya itu sehingga mampu eksis dan tetap bertahan<br />hidup di tengah serbuan kekuatan-kekuatan media komunikasi lainnya.<br />Sudah menjadi tugas utama para penyair untuk memberikan dan<br />mempertahankan kehidupan dan bukannya tunduk pada kekuatan kematian<br />atau tekanan kekuasaan manapun yang hendak mengkerdilkan makna dari<br />puisi itu sendiri.<br /><br /><br /><br />2. Ikhwal Sajak<br /><br />Kira-kira apa yang akan terjadi sekiranya kita memberikan nyawa pada<br />sebongkah batu? Maka batu itu pastilah akan menyerukan ke'diam'annya,<br />bahkan mungkin ia akan meneriakkan kebekuannya lebih nyaring daripada<br />apa yang sanggup di dengar oleh indera pendengaran kita. Dan<br />demikianlah seharusnya sajak menyuarakan dirinya sendiri. Tapi apa<br />yang sebenarnya telah terjadi pada sajak sejauh ini, dan bagaimana<br />pandangan orang terhadapnya?<br /> Walau kata sebagai esensi utama dari sebuah sajak telah berhasil<br />keluar dari penjara kebuntuan leksikon, namun masih saja banyak di<br />antara kita seakan melupakan bahwa sajak bukanlah sekedar kata. Di<br />mana-mana terjadi situasi di mana sajak berhenti sebagai rangkaian<br />kata-kata dan kata berhenti hanya sebagai bunyi. Puisi di dalam sajak<br />kehilangan daya kekuatan magisnya untuk kembali menyuarakan dirinya<br />sendiri dengan lantang. Dengan semena-mena manusia memenggal esensi<br />puisi di dalam sajak, dan menjadikan orok sungsang itu lahir<br />prematur. Sementara di banyak tempat prosa semakin merajalela, dan<br />sajak kemudian semakin kehilangan identitasnya. Kini segala sesuatu<br />harus dibaca bersama massa; dalam konteksnya sebagai sebuah label<br />hibriditas tanda-tanda yang hampir-hampir tidak memiliki identitas<br />sama sekali.<br /> Tapi sekali lagi sajak bukanlah sekedar kata, dan bila pun ia<br />kata ia bukanlah kata sekedar. Puisi bukan pula sekedar bunyi, karena<br />apalah makna bunyi kalau ia tidak mengekalkan arti? Pada mulanya<br />memang, puisi harus menjadi dirinya sendiri: sebuah lampu yang<br />memiliki fungsi untuk membuat segala sesuatu terlihat lebih jelas,<br />namun di sisi lain ia adalah bagian dari sebuah realitas, yaitu<br />keberadaannya di dalam ruang dan waktu. Ia hadir sebagai esensi dan<br />sekaligus sebagai pelengkap, sebagai subyek dan obyek sekaligus. Ia<br />adalah lampu di meja makan, ia adalah bangku di tengah taman. Dan<br />sebagai lampu atau bangku ia harus memiliki identitas agar ia<br />dikenali, karena ia tidak bisa berdiri begitu saja di tengah massa<br />yang mengacuhkan keberadaannya serupa keberadaan batu itu. Maka<br />sebagai batu sekalipun ia harus mengungkapkan dirinya. Apalah arti<br />batu bila hanya untuk disepak atau ditendang orang? Tapi siapa berani<br />menendang batu nisan di tengah kuburan? Bagaimana pula orang<br />memperlakukan sebuah batu mulia?<br /> Otoritas kata di dalam sajak harus dikembalikan pada<br />fleksibilitasnya, yaitu pada kemampuannya untuk menyatakan dirinya<br />sendiri dalam bentuk apapun yang ia inginkan. Tidak saja secara<br />verbal di mana kata dapat bertransformasi atau bermetamorfosis sesuai<br />dengan yang ia kehendaki melainkan juga di dalam wujud visualnya<br />yaitu di dalam tipografinya, karena tipografi sebagai wadah atau<br />bentuk dari sebuah sajak berfungsi untuk menyampaikan apa yang<br />tersurat dari yang tersirat, ia dapat berfungsi sebagai salah satu<br />pintu menuju pada pengertian. Bahwa sajak tidak harus dijelaskan<br />melalui media lain selain dirinya sendiri, karena ia telah sanggup<br />mencukupi dirinya sendiri. Sajak harus dapat mengkomunikasikan<br />dirinya sendiri dan hadir sepenuhnya dengan identitasnya sendiri yang<br />mewakili seluruh keberadaan dirinya secara utuh dan konkret.<br /> Dengan demikian maka sajak-sajak akan tampil dengan lebih<br />komunikatif dan jauh lebih atraktif serta menemukan tempat berpijak<br />yang kokoh untuk bersaing dengan media komunikasi lainnya. Sajak<br />tidak akan berhenti sebagai sebuah bacaan semata. Sejauh ini ia telah<br />disuarakan dan didengar. Sudah tiba pula saatnya agar ia dapat<br />dilihat dan kalau perlu bisa disentuh dalam wujudnya sebagai simbol-<br />simbol atau tanda-tanda yang merepresentasikan keberadaan dirinya<br />sendiri, yaitu dalam bentuk tipografi-tipografi nya yang paling<br />konkret yang merupakan bagian ekspresif dari sajak yang tidak sekedar<br />mengusung bentuk tapi juga harus memiliki maksud tertentu. Sudah<br />seharusnya tipografi sajak menjadi sebuah tanda lahir, sebuah jejak<br />yang diterakan sendiri oleh tangan sang penyair.<br /> Selanjutnya, apabila kata tersebut kemudian mengalami<br />metamorfosis di dalam sajak dan menjelma menjadi seorang manusia maka<br />ia harus seutuhnya manusia, ia bukan sekedar mata kanan atau mata<br />kiri, bukan pula tangan kanan atau tangan kiri. Karena ia bukan sapi,<br />kelinci, kucing atau anjing. Ia harus memiliki identitas, dan<br />identitasnya itu adalah dirinya sendiri; wujud sajak sebagai cerminan<br />terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ia harus mampu<br />menyatakan dirinya. Ia harus menjadikan dirinya sendiri berarti. Agar<br />dengan demikian ia pantas untuk hadir dan dihargai, agar kemudian ia<br />pantas pula untuk menikmati eksistensi dari kehidupannya sebagai<br />bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah tujuan utama<br />kehadiran sebuah sajak, bukan sekedar untuk merayakan kepedihan, atau<br />mengungkapkan rasa sekedar. Ia harus sanggup memberikan kehidupan dan<br />tempat yang seluas-luasnya bagi kreativitas. Sebagaimana batu hidup<br />bersama waktu dan menjeritkan kebisuannya. Sebagaimana waktu hidup<br />dan berdetak di tengah kita bersama keberadaan kata-kata.<br /><br />Titon RahmawanGita Pratamahttp://www.blogger.com/profile/08447763829790320756noreply@blogger.com0