Thursday, April 2, 2009

Seni Puisi (1): Pengolahan dan Pemberdayaan Bahasa

Oleh HASAN ASPAHANI

PENGANTAR: Inilah tulisan awal saya yang semoga saja bisa membantu siapa saja memahami, mendekati, dan akhirnya mencintai puisi. Mencintai puisi - sebagaimana saya tulis dalam buku saya "Menapak ke Puncak Sajak (Koekoesan, 2007) - bisa dilakukan dengan dua hal: membaca dan menuliskannya. Keduanya sama asyiknya. Ini adalah tawaran dialog, mengobrol. Suasananya adalah kedai kopi. Bukan ketegangan meja seminar. Pemikiran-pemikiran yang beda mari kita pertukarkan. Jangan takut kalau obrolan kita ini mungkin akan terlihat naif, bodoh, atau konyol - dan mungkin kita tidak sampai pada kesimpulan apa-apa. Saya percaya, pada tingkat tertentu, sebuah perdebatan tanpa keputusan lebih baik daripada sebuah keputusan tanpa perdebatan.

Seni Puisi (dari bahasa Yunani "poesis" - berarti "pembuatan" atau "penciptaan") adalah seni yang mengolah atau memberdayakan bahasa agar tercapai kualitas estetisnya. Pengolahan dan pemberdayaan itu dicapai dengan menggarap satuan-satuan gramatika yaitu kata, frasa, klausa dan kalimat. Penggarapan itu dilakukan dengan memanfaatkan, menambahkan, menciptakan, memperluas, bahkan menggantikan, makna yang semula ada.

Puisi telah menempuh sejarah yang panjang. Upaya-upaya awal untuk menjelaskan apakah puisi itu, seperti dilakukan oleh Aristoteles dalam risalahnya "Poetics", terpusat pada ihwal pemanfaatan "daya bahasa" dalam retorika, drama, lagu atau komedi.

Pada zaman yang lebih kemudian, puisi mulai ditengok lebih khusus pada bagian-bagian khasnya seperti repetisi, rima, ritme, metrum, pilihan kata, dan mulai lebih ditekankan pula pada pertimbangan estetika bahasa puisi yang sudah mulai dipisahkan atau dibedakan dengan prosa.

Sejak pertengahan abad ke-20, puisi sudah mulai dipegang dengan longgar pengertiannya, definisi yang baku tidak lagi disakralkan. Sejak itu yang penting bagi puisi adalah ia telah didudukkan sebagai dasar dari kerja kreatif yang menggunakan bahasa sebagai ranahnya.

Puisi kerap menggunakan bentuk-bentuk khusus dan aturan-aturan tertentu untuk memperluas kemungkinan makna literal kata-kata, atau untuk merangsang bangkitnya tanggap rasa dan emosi. Perangkat-perangkat perpuisian seperti, asonansi, aliterasi dan ritme digunakan untuk mencapai efek musikal dan efek seperti mantra.

Pada puisi terkandung ambiguitas, simbol-simbol, ironi, dan pada puisi diberdayakan juga unsur-unsur stilistika diksi puitik lainnya. Akibatnya, makna puisi menjadi multitafsir, puisi membuka dirinya bagi pemaknaan yang berganda-ganda. Dengan cara yang sama, metafora dan simile menciptakan gaunggambar yang bersahut-sahutan antara imaji-imaji yang tidak sama bahkan bertentangan --- serentak tercipta pula pelapisan-pelapisan makna, terbentuk jalinan yang sebelumnya tidak terduga.

Beberapa bentuk puisi yang khas lahir dari kebudayaan tertentu, akibat kekhasan pada bahasa yang digunakan atau dikuasai oleh sang penyair. Dari Italia, kita mengenal soneta, dari Persia kita mengenal gazal, dan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia kita mengenal pantun, dari Jepang kita mengenal haiku. Bentuk-bentuk puisi itu kemudian melintasi bahasa-bahasa. Soneta ditulis dalam Bahasa Inggris dan Indonesia juga. Haiku pun ditulis dalam bahasa Inggris dan Jepang.

Sekarang, di zaman dunia yang terbuka, mengecil, dan menyatu, penyair amat bebas menjelajah, tidak hanya mencari kemungkinan yang disediakan oleh bahasa utama yang ia pakai. Penyair juga bebas meminjam gaya, teknik, dan bentuk dari budaya dan bahasa lain. .:.