Friday, July 11, 2008

[Esai] Tiga Perempuan Penyair

Sebuah puisi, sebuah esai hakui tentang puisi, sebuah esai tentang puisi dan tentang esai tentang puisi, sebuah puisi, sebuah esai tentang puisi, seperti di”lekat”kan Kris Budiman di sini, memang mengandung “jarak” dan “idealisasi” yang nyata. Tapi jarak, idealisasi, terasa absurd bagi saya, terasa misterius.

Lihatlah bagaimana jarak itu bekerja: ia merentang sepanjang rantai sejarah manusia. Tapi sekaligus memendek dengan apa yang namanya kenangan.

Jarak dalam ruang, ruang dalam jarak, seolah menunjuk sebuah ukuran. Seolah menunjuk beberapa ukuran (lihatlah sistem galaksi kita). Tapi apakah di balik ukuran dan beberapa ukuran ini? Adakah sesuatu yang tak terukur, di mana ruang dan jarak lesap ke dalamnya? Apakah ia hendak kita sebut? Adakah seni puisi bisa bekerja di sini? Aduh: betapa implikatifnya!

Seumpama kematian, jarak adalah idealisasi sesudah mati: apakah di balik mati? adakah surga di balik mati?

Jarak inheren dalam idealisasi. Idealisasi mewujud dalam jarak. Mereka menampit seolah roh dan badannya. Mereka menjauh seolah kesadaran menunjuk benda dan peristiwanya.

Jarak dan idealisasi mengerut dalam kata – seolah pecahan beling dengan gelasnya. Saat gelas itu pecah menjadi beling, itulah saatnya kata-kata menunjuk kepada maknanya.

Menariknya dunia kata, adalah saat ia bisa mendekat atau menjauh, dari manusia yang mengalami. Kata-kata bisa seolah manusia tidur, di mana pembelahan pikiran dan tubuh terjadi (jarak itu). Orang tidur bukankah tidak menyadari tubuhnya sendiri? Tapi dalam keadaan terbelah pun, idealisasi itu muncul lagi. Itulah saatnya orang tidur memimpikan kebahagiaannya, meski ia dalam keadaan tidurnya.

Saat orang tidur, itulah saat pula bagi kata-kata menarik diri, masuk terbenam ke dalam manusia yang mengalami peristiwa atau benda. Seperti orang tidur, kata-kata menjadi pasif . Tak bergerak. Di sini kata berlum beruang. Tenggelam dalam kesadaran. Kesadaran yang aktif, tapi aktifitas kesadaran itu belum memperoleh ruang – ruang kata-kata alias ruang aksara.

Begitulah kata-kata itu terbenam dalam diri. Begitulah pengalaman benda-benda itu terasa berjarak dari manusia yang mengalami. Ia menilai. Ia mencerap semuanya – ia mengidealisasi, atau menampik idealisasi. Ia melesap ke dalam kesadaran.

Bangkitnya kesadaran dalam kata-kata yang memperoleh ruang ini, adalah waktu untuk puisi. Mewujudkan pencerapan yang dilakukan oleh kesadaran ke dalam ruang puisi. Puisi dari sebuah dunia yang tak berhukum kecuali hukum yang dikehendaki oleh penyair. Dunia tak berbatas kecuali batas yang dikehendaki oleh penyair.

Jelaslah. Penyair membuat hukumnya sendiri dalam dunia puisi yang dituliskannya. Di mana satu-satunya hukum (kalaupun boleh disebut sebagai hukum) adalah apakah dunia puisinya kering dan mengandung makna untuk melihat kehidupan.

Saat penyair menulis puisi, itulah saat di mana kata-kata mendekat kepada pengalaman manusia akan benda-benda dan peristiwa. Bahkan pendekatan itu kini lebih masuk lagi menjadi penyatuan. Benar. Sang penyair telah menyatu dengan peristiwa dan benda-benda. Larut ke dalam peristiwa dan benda-benda yang diceritakannya dalam syairnya.

Tetapi imajinasi dan imaji yang melekat kepada manusia penyair atau manusia pembaca syairnya, telah membuat kata-kata itu membelah diri lagi, ke dalam penjauhan dan pendekatan benda dan peristiwa di dalam syair – jarak. Begitulah mereka selang-seling berjalan bolak-balik.

Dalam puisi, penjauhan terjadi saat sang aku lirik bercerita tentang peristiwa dan benda-benda, di mana peristiwa dan benda telah menjadi objek pengamatannya, seperti yang ditunjukkan Kris Budiman terhadap dunia puisi Amir Hamzah dan Chairil. Tetapi pendekatan kepada peristiwa dan benda-benda terjadi lagi, saat sang aku lirik menjadi atau mewujudkan dirinya sebagai objek dari peristiwa dan benda-benda itu sendiri. Dirinya sebagai subjek lebur ke dalam peristiwa dan benda-benda. Mengubah narator menjadi lirik. Narator lirik dari tanda bahwa suatu bahasa tulis sedang bekerja di sana.

Kris Budiman telah mengutip narator yang telah menjadi lirik ini, dalam dunia puisi Herlinatiens, sebuah dunia yang menjadi tipikal manusia modern untuk berontak, sebagai yang saya lihat pula dalam dunia puisi Maria Ferarri, di mana pemberontakan di sana mengambil atau mewujud ke dalam pemberontakan terhadap surga dan neraka dalam hubungan passion manusia – Maria menyebutnya para pendosa. Atau yang terbaca juga dalam dunia puisi Gita Pratama, sebagai sebuah pemberontakan dengan mengambil bentuk anak kecil yang diceritakannya, melawan dunia realita manusia dewasa: Seharian berlarian bergulat pasir taman
Di atas papan seluncur kau berdiri terkekeh
"Kukencingi kalian", teriaknya pada bocah lainnya (Gita Pratama)


Selamat dan salut/ternyata aku tak salah dengan membunuhmu/lebih dulu (Herlinatiens)

Inilah narator yang telah menjadi lirik, dari seorang novelis tersohor ini. Di mana narasi selamat dan salut adalah sebuah idealisasi, juga ancang-ancang yang berfungsi semacam latar bagi sang aku untuk masuk menjadi narator lirik, atau kata yang mendekatkan manusia pada objeknya, objek yang bergerak menjadi subjek: aku tak salah dengan membunuh.. tapi subjek itu keluar lagi dari dalam dirinya, membuat atau menjadi jarak lagi dengan “mu” di situ.

Permainan subjek objek, jarak dan idealisasi yang keluar masuk itu, terjadi juga dalam puisi Maria Ferarri “Sambutlah Kami Para Pendosa”. Menarilah lidah-lidah api, kata perempuan berwajah melankolik ini, menyuarakan latar kelam dari idealisasi pemberontakannya, demi sebuah kebebasan yang dipilihnya. Latar di mana sang aku lebur menjadi kami para pendosa. Yang merentangkan jarak dirinya dengan idealisasi lain atau jarak lain. Dengan ungkapan yang begitu memilukan, tapi terasa mencapai pemberontakan yang penuh: Di neraka kami berjumpa/untuk segala api segala bara.

Narator yang menjadi lirik, atau aku sang penyair yang lesap ke dalam benda, telah menjadi benda itu sendiri dengan menyuarakan pengalamannya. Saat di mana jarak menghilang, meruang dalam dalam diri sang penyair, seperti terbaca dalam dunia puisi tiga perempuan penyair itu. Di mana lesapan itu menjadi atau membentuk jarak kembali dengan idealisasi yang diungkapkan mereka dalam puisinya.

Di sana puisi nampak begitu menggetarkan.

(Hudan Hidayat)