Thursday, January 31, 2008

Dongeng Ritual Mandi dan Kedalaman Maksud

Oleh Dino Umahuk

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif sekaligus konotatif. Dibanding bentuk karya sastra lain, bahasa puisi lebih memilki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena terjadinya konsentrasi atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi yang sangat padat bersenyawa secara padu bagaikan gula dalam larutan kopi.

S. Effendi menyatakan bahwa dalam bahasa puisi terdapat bentuk permukaan yang berupa larik, bait dan pertalian makna larik bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan dan peambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada „mood” atau „atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologi dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi 1982:xi)

**
Dalam kaitan itu, sebuah puisi berjudul Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas telah di kirim ke email saya oleh panitia KOPDAR 2 Kemudian.com. Puisi ini dikirim ke saya tanpa nama penulisnya. Mungkin ini kesengajaan dari panitia agar peresensi tidak mengetahui identitas penulis puisi. Namun karena tidak mengetahui siapa penulisnya, saya agak kesulitan untuk menerawang suasana kebatinan dan latar belakang lahirnya puisi ini. Tapi baiklah saya akan mencoba memberikan apresiasi yang mudah-mudahan tidak salah dan keliru.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakainya berjalan

Macul,14 Maret07
***

Mandi secara harafiah berarti upaya seseorang untuk menyegarkan badan sekaligus membersihkan badannya dari berbagai jenis kotoran. Kenapa mandi, karena dalam puisi ini, secara implisit memperlihatkan upaya seseorang untuk membersihkan dirinya dari berbagai kotoran itu kotoran yang melekat di badan dan maupun kotoran jiwanya. Lihat bait-bait berikut: Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua/ Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup/ penat disini bisa dikiaskan sebagai dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan kesadaran ini diperoleh setelah menyaksikan kematian /Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari/. Setelah melihat bagaimana seorang hamba tak berdaya menghadapi maut, menghadapi takdir kematian. Setelah melihat betapa tak bisa apa-apanya sebuah kerangka manusia selain pasrah pada tanah kuburan.

Dalam ajaran Agama Islam, mandi memiliki makna membersihkan diri dari hadas/najis, baik najis besar maupun najis kecil. Jika perpijak pada dua bait berikut: Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti/Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan/ maka mandi yang dimaksudkan si penyair dapat disebut sebagai upaya untuk membersihkan diri dari berbagai dosa karena usia yang semakin menua sebagaimana dikiaskan sebagai Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip.

Apa yang bisa saya simpulkan dari puisi yang coba saya hayati adalah sebentuk upaya membersihkan diri atau semacam cuci dosa. Dalam puisi ini sang penyair berupaya membersihkan disebabkan oleh dosa-dosanya di sepanjang usia sebagai makhluk yang berupaya dekat dengan Rabb, dengan Tuhan.

Memang tidak semua penyair menulis sajak untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, dalam puisi Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas sang penyair, hemat saya, tengah berusaha merapatkan diri pada hakikat keindahan, kebenaran, dan kejernihan.

Penyair yang kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran, tengah berusaha berjalan ke inti kehidupan, kepada Tuhan.

Meskipun sang penyair sadar bahwa setelah pemandian, pensucian dan pertobatan, dosa-dosanya belum habis terkikis. Ini dikiaskan kembali dalam Ritual mandinya belum tuntas/Kulit kaki belum lepas. Karena sebagai makhluk yang lemah, sebagai manusia yang doif, ia selalu dengan sangat gampang tergelincir untuk berbuat dosa. Sangat gampang untuk ditaklukkan kembali oleh nafsu dan setan.

Sang penyair juga terpaku pada ketersadaran bahwa hari esok masih harus terus iya jalani sebelum ajal menjemput, sebagaimana di sampaikan pada bait penutup. /Nanti malam masih dipakainya berjalan. Namun sayang ia tak tak memintal doa-doa sebagai bekal untuk melangkah.

Entah berjalan kemana kita sesungguhnya sama-sama tak tahu. Hanya sang penyair yang mengerti hendak kemana nasib akan dibawa. Entah menuju ke langit dengan wajah selembut bidadari atau menuju neraka dengan wajah sehitam iblis.

Wallahu a'lam bis Shawab.
Serambi Mekah, Jumat 24 Januari 2008

Di culik dari Http://perkosakata2008.blogspot.com

Thursday, January 24, 2008

Resensi Puisi 'Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas'

Perkosakata2008

Oleh Nanang Suryadi

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Sajak ini berjudul: Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas. Dari judulnya, penulis menggiring pembaca untuk masuk ke dalam sebuah dongeng atau cerita. Sesuai dengan judulnya, sajak ini memang bercerita. Penulis menarasikan tentang suatu kejadian, yaitu tentang ritual mandi. Mengapa mandi menjadi suatu ritual? Jika ritual diterjemahkan sebagai suatu hal yang wajib dan rutin dilakukan dengan urut-urutan yang sama, mungkin memang dapat dikatakan bahwa mandi merupakan ritual bagi seseorang. Mari kita simak sajak Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakai jalan

Macul,14 Maret07

Dalam sajak ini siapa subyeknya? Pada baris pertama, hanya muncul “kulit lusuh”. Apakah “kulit lusuh” sudah mencukupi, sepertinya tidak. Mungkin, akan lebih baik jika dimunculkan “subyek” yang memiliki “kulit lusuh” ini, di awal sajak. Karena akan menjadi ganjil ketika sang subyek alias “ Ia” muncul tiba-tiba di baris kedua dan baris ketiga. Secara teknis, susunan kalimat atau frasa masih perlu diperbaiki. Misalnya kalimat: Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari. Apa yang kurang dari kalimat ini? Mungkin pembaca dapat menunjukkannya jika melihat dengan menggunakan kadiah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menurut saya, sajak ini dapat menjadi lebih bagus lagi, jika penulisnya mau mencoba untuk masuk ke dalam sajaknya tersebut dan membuang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Saya sangat menghargai kemauan penulisnya untuk mencoba menciptakan frasa-frasa unik, misalnya: “keringat tersimpan rapi”, “siku hidup” Permainan bunyi juga sudah terasa, misalnya: “penat terlihat” namun masih kurang dikembangkan.

Begitulah kesan saya pada sajak ini.