Thursday, May 1, 2008

TEKS PUISI, TEKS KEHIDUPAN Oleh WAYAN SUNARTA


Nov 09, 2007 at 06:16 PM

Umbu Landu Paranggi, mantan Presiden Malioboro yang kini menetap di Bali, yang hampir seluruh hidupnya dibaktikan untuk puisi, pernah berujar: kehidupan adalah puisi dan puisi adalah kehidupan itu sendiri. Saya rasa Umbu benar untuk hal itu. Begitu rupa ia mencintai puisi. Begitu dalam pula puisi mencintainya. Umbu adalah puisi itu sendiri, ia adalah teks jua.

Puisi adalah sebuah teks besar. Dan kehidupan juga adalah sebuah teks besar. Keduanya berkelindan dalam kepala setiap pembaca teks. Tentu pembacaan itu melahirkan tafsir yang beragam, sesuai dengan ketelitian dan kekuatan pembacaan. Tidak ada tafsir tunggal. Setiap pembaca sah menafsirkan teks, menafsirkan puisi atau kehidupan. Dan dengan penafsiran itu pula ia menjalani apa yang diyakininya.

Dari setiap penafsiran itu pula puisi menemui jalan hidupnya sendiri ketika ia diserahkan dengan ikhlas ke khalayak dan sang penyairnya (pengarang) mati dengan indah atau penuh kecemasan. Sebuah puisi bisa bernasib malang di tangan redaktur karena dianggap tidak layak muat. Sebuah puisi bisa bernasib indah ketika ia dimuat dan diapresiasi pembaca dengan penghargaan tinggi. Sebuah puisi bisa pula bernasib tragis ketika ia diberangus karena dianggap menghina agama atau kekuasaan. Nasib puisi sama halnya dengan nasib manusia. Jalan hidup puisi adalah ketidakterdugaan.

Sebuah puisi harus dibaca sebagai sebuah teks yang di dalamnya mengandung berbagai unsur kehidupan yang berkelindan, yang memeram makna tak terduga, yang bagai lapisan kulit bawang. Bahkan kata atau metafora yang membangun puisi adalah juga teks-teks yang saling berjalinan. Puisi tidak mengharapkan hal-hal yang berlebihan dari pembacanya. Karena segala hal yang berlebihan akan dikembalikan kepada Sang Pencipta. Yang dirindui puisi hanyalah rasa cinta dan kasih yang tulus, yang jauh dari kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, arogansi atau bentuk-bentuk penghakiman lainnnya. Sebab pada intinya puisi mencintai dirinya sendiri, sekaligus pembacanya.

Puisi memberikan ruang untuk keberagaman, untuk perbedaan yang diharapkan akan membangun penghargaan terhadap kemanusiaan kita. Itulah pula sebabnya mengapa kitab-kitab suci disusun dalam bentuk syair (puisi), bukan prosa? Mengapa pula mantra dibuat dalam bentuk puisi? Karena puisi menghargai perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Dengan kata lain, tidak ada tafsir absolut terhadap puisi. Puisi memiliki jiwa yang berbeda dengan prosa. Puisi adalah kejujuran hati, sedangkan prosa adalah penipuan diri. Puisi adalah matahari, sedangkan prosa adalah bulan. Puisi adalah kesetiaan, sedangkan prosa adalah pengingkaran pada diri sendiri.

Ketika penyair menyusun kata-kata menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan khalayak pembaca. Membaca puisi sebagai teks adalah memasuki rimba raya lambang. Puisi adalah rimba, dan pembaca adalah pemburu atau mungkin petualang yang tersesat.

Pembaca sebagai pemburu tentu sudah menyiapkan senjata, bekal dan segala perkakas untuk berburu. Di dalam rimba puisi, ia berburu makna, atau berburu keindahan yang dirinduinya. Ia bisa pulang bahagia dengan membawa hasil buruan, atau kecewa tidak menemukan apa-apa di dalam rimba puisi. Ada sedikit pemburu yang mau memasuki rimba puisi karena menganggap tidak ada hewan-hewan berharga di sana, atau karena berburu di dalam rimba puisi lebih sulit ketimbang di dalam rimba prosa. Pemburu dalam hal ini adalah kritikus atau orang yang menobatkan dirinya sebagai kritikus sastra.

Pembaca sebagai petualang yang tersesat adalah ketidakterdugaan yang indah. Hanya karena karunia keindahan yang menyebabkan ia tersesat ke dalam rimba puisi. Dengan ragu dan cemas ia menyusuri belantara, berharap menemukan jalan kembali. Ia tidak akrab dengan rimba puisi. Namun di dalam keraguan dan kecemasan ia perlahan mencoba mengikhlaskan dirinya pada rimba puisi. Demi bertahan hidup dalam rimba puisi, ia berusaha mencintai setiap pepohonan, belukar, duri, bunga-bunga, buah segala buah, dan berupaya menghindar dari sergapan binatang buas. Sampai akhirnya ia menemukan tempat yang aman dan nyaman dalam rimba puisi. Perlahan rimba puisi membuka segala keindahannya untuk si petualang yang tersesat itu. Ada kolam bening di mana ia bisa mengacakan wajah, meraba atau membaca bayangan dan kenangan.. Ada bunga yang perlahan merekah di hadapan mata sehingga ia bisa menyentuhkan jari-jarinya ke sari bunga yang indah itu. Ada duri yang ia biarkan menyusup di telapak kaki sehingga kepedihannya tiada terasa nyeri lagi. Si petualang yang tersesat merasa menemukan nirwana dalam rimba puisi. Ia tidak ingin pulang lagi, ia menyatu dalam rimba puisi. Saya rasa Umbu adalah salah satu petualang yang tersesat dalam rimba puisi.

Puisi memberi kita banyak hal untuk belajar tentang kehidupan, keindahan sekaligus kepedihannya. Puisi berutang pada kehidupan, dan kehidupan berutang pula pada puisi. Namun sesungguhnya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka saling mencintai. Tidak ada kekuasaan apa pun di muka bumi yang mampu memisahkan keduanya, tidak raja tidak pula kaisar. Pemberangusan, pencekalan, penindasan atau pembredelan tidak akan melemahkan puisi dan kehidupan. Justru mereka semakin kuat untuk bersenyawa. Puisi (meminjam satu baris puisi Umbu) adalah raja diraja sekaligus budak belian bagi kerajaan purbani.

Kekuatan dan kemenangan puisi adalah justru karena ia menjadi bara yang bersemayam dalam jiwa setiap manusia. Puisi mampu menghangatkan hati, atau menghanguskan hati. Puisi seperti kundalini, ular mistik yang terlelap dalam cakra dasar manusia. Manusia yang dungu tidak akan mampu membangunkan ular itu dari tidur purbanya, manusia yang peka adalah pawang bagi si ular kundalini.

Puisi adalah ular kundalini yang semayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya.***
Last Updated ( Nov 09, 2007 at 06:22 PM )

Diculik dari puisi.net

No comments: