Sunday, April 22, 2007

Enam Diktum Goenawan

Pasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi.
Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya
dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada
orang lain, pembacanya.

Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang
mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan
suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya
bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada
dalam komunikasi.

Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh
pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan
atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang
tidak pantas dihargai.

Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah
ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba
terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan
penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya
bagi dirinya sendiri.

Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja
membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak
adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi
dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi
percaya pada dirinya sendiri.

Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara
"kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan
"tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca",
tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.

* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi"
tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan
Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.

Monday, April 16, 2007

[Ruang Renung # 190] Mengisi Hidup, Menjaring Inspirasi

DARI mana datangnya inspirasi untuk sebuah puisi? Bagaimana mendapatkan inspirasi? Inspirasi itu harus ditunggu atau diburu? Kenapa seringkali kalau diburu-buru inspirasi malah mati? Kenapa banyak peristiwa hebat dan unik tidak menggerakkan seseorang menulis puisi? Kenapa ketika seseorang sudah bersiap dengan komputer aktif dan tangan siaga di papan ketik, eh puisi tak juga tercipta karena inspirasi tak datang-datang juga? Inspirasi puisi itu berasal dari rasa hati atau dari nalar pikiran?

Apakah hidup yang rutin harus dilabrak agar inspirasi mengalir? Apakah penyair harus menjadi bengal agar dari kebengalan lakunya itu ia mendapatkan inspirasi? Atau penyair harus merenung sendiri, menyepi menjauh dari kehidupan? Apakah penyair harus menghindari keteraturan hidup? Apakah kemoratmaritan hidup adalah lahar subur bagi inspirasi?

Saya tidak bisa tidak kecuali setuju saja dengan apa yang dipaparkan oleh W.S. Rendra. Soalnya, kata beliau, bukan bagaimana mencari inspirasi itu, tapi bagaimana pengarang harus membuat hidupnya berisi, sehingga ia akan selalu kaya akan rangsangan-rangsangan untuk membuat karangan-karangan. "Ia harus selalu berhadapan dengan masalah," kata Rendra.

Ya, saya sepenuhnya setuju pada Tuan Rendra. Buatlah hidup kita berisi, dan kita harus senantitasa berhadapan dengan masalah. Itulah kuncinya. Kita tidak mencari masalah, sebab hidup toh selalu bermasalah. Menghadapi masalah, berarti menyadari bahwa masalah itu ada dalam hidup kita. Kita tidak perlu menghindarinya, kita tidak boleh mengabaikannya, kita jangan pura-pura melupakannya. Tapi kita juga tidak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah.

Ya, hadapilah masalah. Dengan gagah tapi tidak dengan pongah. Dengan begitu, hidup kita akan berisi. Terus-menerus terbaharui. Dari kehidupan yang penuh dan membaru itu, kita menjadi kaya dan rangsangan untuk membuat karangan: puisi-puisi dan kisah-kisah, terus mengada. Terus mengada, tapi tidak mengada-ada.

hasan aspahani