Thursday, September 13, 2007

Kegagapan Calon Penyair oleh Hasan Aspahani

[Ruang Renung # 229] Kegagapan Calon Penyair
Ada surat pembaca di majalah Gong No. 93 Agustus 2007. Surat itu saya kira cukup mengharukan. Si pengirim Dadang Ari Murtono dari Komunitas Sastra Pondok Kopi, Mojokerto.

Surat pembaca itu begini, kita kutip seutuhnya:
Sebagai seorang penyair muda atau lebih tepatnya calon penyair, saya sering mendengar tentang Makalah Gong dari penyair-penyair yang lebih senior dan saat ini ketika ruang sastra di koran-koran minggu dan majalah-majalah sastra dipenuhi puisi "gelap" atau beraliran "goenawan" dan tidak memberikan sedikitpun tempat bagi puisi protes atau genre puisi selain puisi lirik/suasana, maka harapan saya sebagai pembaca, Majalah Gong bisa memberikan kesempatan kepada puisi-puisi yang "terpinggirkan" tersebut sehingga bisa menjadi penyimbang bagi lembar sastra media-media besar lainnya. Demikian semoga Majalah Gong semakin suskses. Terima kasih.

1. Penyair Agus R Sarjono pernah bilang, kalau ingin tahu kualitas penyair, maka lihatlah tulisannya selain puisi. Eseinya atau prosanya. Kalau eseinya bagus, ada harapan ia menulis puisi yang bagus. Penyair yang bagus, katanya, adalah penulis esei yang bagus. Bila surat pendek ini kita anggap sebagai esei pendek, maka sungguh ini bukan sebuah esei yang baik. Surat ini hanya terdiri dari tiga kalimat. Satu kalimat panjang sekali, terdiri atas 77 kata. Kalimat lain hanya terdiri atas enam dan dua kata. Repot sekali mengikuti apa maunya kalimat panjang yang pertama itu. Mestinya kalimat itu bisa dipenggal menjadi lima atau enam kalimat yang lebih nyaman dibaca dan ditangkap isinya.

2. Dengan mengesampingkan kekalutan kalimat panjang itu, maka yang mengharukan adalah ternyata di Mojokerto, dan di mana-mana saya rasa, di Indonesia ini, banyaklah anak muda seperti Dadang Ari Murtono (ia lahir tahun 1984). Anak muda yang menggerakkan komunitas sastra dan dengan sadar - mungkin juga bangga - menyebut diri penyair muda atau calon penyair. Ada sejumlah risiko dalam penyebutan itu. Saya kira Dadang asyik saja dengan sebutan itu, tanpa terlalu memperhitungkan apa risikonya.

3. Dadang dan mungkin banyak penyair muda lainnya, gampang dihinggapi wasangka. Wasangka Dadang di surat ini adalah 'ruang sastra di koran-koran minggu dipenuhi oleh sajak "gelap". Lebih menarik lagi ia mengataukan "Sajak gelap" itu sebagai "sajak beralirah goenawan". Yang dia maksud mungkin sajak-sajak Goenawan Mohamad. Benarkah?

4. Karena tuduhan di butir ketiga tadi, maka Dadang lantas menyimpulkan bahwa tidak ada tempat lagi untuk "sajak protes" atau sajak lain selain "sajak lirik/sajak suasana".

5. Akibatnya dari butir ketiga dan keempat tadi, maka ada ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan apa? Saya tak tahu pasti, tapi Dadang berharap Majalah Gong bisa menjadi penyimbang itu. Mungkin ketidakseimbangan yang ia maksud adalah keragaman gaya-gaya sajak.

6. Di majalah yang sama Majalah Gong memuat tiga sajak Dadang. Sajak-sajaknya tertulis dipersembahkan untuk alrmarhum anaknya. Dan sajak-sajaknya bukanlah sajak-sajak protes! Kalau memakai tuduhan-tuduhannya di suratnya di atas, maka sajak-sajaknya tadi menurut saya adalah "sajak lirik" atau "sajak suasana" atau "sajak aliran goenawan" dan dengan demikian juga adalah "sajak gelap".

Ah anak muda, ah penyair muda, ah calon penyair, jangan gagaplah. Jadilah penulis esei yang baik - mulailah dengan menulis surat pembaca yang baik - dan mulailah berhitung risiko setelah Anda berani menyebut diri sebagai calon penyair atau penyair muda.




Hak cipta pada hasan aspahani

No comments: