Thursday, November 22, 2007
Enam Tahap Mengakrabi Puisi
Tanggal: Wednesday, 14 February 2007
Topik: Esai Sastra
Oleh: Hasan Aspahani
1. Tahap Tahu Puisi. Ini tahap awam. Sebagian besar orang berada pada tahap ini. Sebagian besar orang pernah membaca satu dua bait atau satu dua puisi. Paling tidak orang bertemu puisi dalam pelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Orang yang tahu puisi, bukan orang yang peduli pada puisi. Ia bisa hidup nyaman-nyaman saja tanpa puisi. Dia dan puisi adalah dua orang tak saling kenal yang kalau bertemu tak perlu harus menggelar perbincangan, bahkan mungkin tak perlu bersapaan.
2. Tahap Kenal Puisi. Orang yang kenal puisi mulai sering membaca - bukan meresitalkan - puisi, meskipun tidak rutin. Dia ingat beberapa nama penyair dan puisinya. Dia suka menuliskan puisi sendiri, untuk diri sendiri, atau untuk orang-orang terdekatnya saja. Puisi baginya seperti ibadah sunat, dikerjakan dapat nikmat, tidak dikerjakan tidak berkurang nikmatnya. Dia dan puisi seperti kawan yang saling sapa dan menjabat tangan kalau bertemu. Saling bertanya kabar, meskipun kadang hanya tanya berbasa-basi.
3. Tahap Perlu Puisi. Pada tahap ini seseorang mulai menganggap puisi sebagai kebutuhan. Dia rutin menulis dan membaca puisi. Dia mengoleksi buku puisi. Dia ingin tahu lebih banyak tentang hakikat puisi. Dia mulai bisa merasakan mana puisi bagus, dan mana puisi buruk, dan bisa menunujukkan keunggulan dan kelemahan puisi itu. Dia menulis puisi dan mulai peduli apa pendapat orang tentang puisinya. Dia menikmati penulisan puisi itu. Dia butuh menulis puisi. Puisi ibarat orang yang dia taksir dan ingin dia pacari. Dia belum menyatakan cintanya, tapi dia ingin tahu banyak dan seperti terseret untuk lebih dekat, lebih banyak kenal.
4. Tahap Mahir Puisi. Pada tahap ini, orang sudah percaya diri menunjukkan puisinya pada orang lain. Puisinya tersiar di beberapa terbitan. Puisinya tergabung pada beberapa antologi. Dia telah menerbitkan puisi. Dia suka memperhatikan puisi-puisi orang lain, untuk menambah akemahirannya berpuisi. Dia suka meresitalkan puisinya atau puisi orang lain. Dia mulai tahu bagaimana puisi yang baik dan terus menerus ingin memperbaiki puisinya. Secara teknis dia tak bermasalah lagi dengan puisi. Dia telah membuka diri bahwa dia telah menjalin hubungan khusus dengan puisi. Dia telah memacari puisi.
5. Tahap Cinta Puisi. Dia telah menemukan dirinya dalam puisi. Dia mencintai puisi seperti mencintai dirinya. Dia menghargai dirinya dengan lebih baik, sebaik dia menghargai puisinya dan puisi lain yang ditulis orang lain. Dia menulis puisi untuk meyakinkan bahwa dirinya berharga untuk terus ada. Dia ingin orang lain membaca puisinya seperti orang membaca dirinya. Dia bisa membuat orang menghargai puisinya seperti menghargai dirinya. Dia membaca puisi orang lain dan dengan nyaman juga seperti bertemu bagian-bagian dari dirinya ada dalam puisi itu. Dia seperti telah menikahi puisi. Dia berumah tangga dan membangun kehidupan yang berbahagia dengan puisi.
6. Tahap Arif Puisi. Ini tahap tertinggi. Orang yang sudah mencapai kearifan berpuisi. Dia tak ada beban lagi harus menulis puisi atau tidak, tapi dia terus saja menulis puisi sebagai laku hidup, seperti bernapas. Puisi itu penting buatnya tapi dia melakukannya tanpa beban apa-apa. Dia tak ingin mencapai apa-apa lagi lewat puisi karena dia telah mencapai Puisi. Dia seperti telah memahami hakikat yang Mahapuisi. Menyebut namanya, orang langsung mengingat puisi-puisinya. Dia sendiri telah menjelma menjadi semacam puisi juga. Menyebut puisi, orang bahkan dengan mudah jadi teringat pada dia juga.
Thursday, September 13, 2007
Kegagapan Calon Penyair oleh Hasan Aspahani
Ada surat pembaca di majalah Gong No. 93 Agustus 2007. Surat itu saya kira cukup mengharukan. Si pengirim Dadang Ari Murtono dari Komunitas Sastra Pondok Kopi, Mojokerto.
Surat pembaca itu begini, kita kutip seutuhnya:
Sebagai seorang penyair muda atau lebih tepatnya calon penyair, saya sering mendengar tentang Makalah Gong dari penyair-penyair yang lebih senior dan saat ini ketika ruang sastra di koran-koran minggu dan majalah-majalah sastra dipenuhi puisi "gelap" atau beraliran "goenawan" dan tidak memberikan sedikitpun tempat bagi puisi protes atau genre puisi selain puisi lirik/suasana, maka harapan saya sebagai pembaca, Majalah Gong bisa memberikan kesempatan kepada puisi-puisi yang "terpinggirkan" tersebut sehingga bisa menjadi penyimbang bagi lembar sastra media-media besar lainnya. Demikian semoga Majalah Gong semakin suskses. Terima kasih.
1. Penyair Agus R Sarjono pernah bilang, kalau ingin tahu kualitas penyair, maka lihatlah tulisannya selain puisi. Eseinya atau prosanya. Kalau eseinya bagus, ada harapan ia menulis puisi yang bagus. Penyair yang bagus, katanya, adalah penulis esei yang bagus. Bila surat pendek ini kita anggap sebagai esei pendek, maka sungguh ini bukan sebuah esei yang baik. Surat ini hanya terdiri dari tiga kalimat. Satu kalimat panjang sekali, terdiri atas 77 kata. Kalimat lain hanya terdiri atas enam dan dua kata. Repot sekali mengikuti apa maunya kalimat panjang yang pertama itu. Mestinya kalimat itu bisa dipenggal menjadi lima atau enam kalimat yang lebih nyaman dibaca dan ditangkap isinya.
2. Dengan mengesampingkan kekalutan kalimat panjang itu, maka yang mengharukan adalah ternyata di Mojokerto, dan di mana-mana saya rasa, di Indonesia ini, banyaklah anak muda seperti Dadang Ari Murtono (ia lahir tahun 1984). Anak muda yang menggerakkan komunitas sastra dan dengan sadar - mungkin juga bangga - menyebut diri penyair muda atau calon penyair. Ada sejumlah risiko dalam penyebutan itu. Saya kira Dadang asyik saja dengan sebutan itu, tanpa terlalu memperhitungkan apa risikonya.
3. Dadang dan mungkin banyak penyair muda lainnya, gampang dihinggapi wasangka. Wasangka Dadang di surat ini adalah 'ruang sastra di koran-koran minggu dipenuhi oleh sajak "gelap". Lebih menarik lagi ia mengataukan "Sajak gelap" itu sebagai "sajak beralirah goenawan". Yang dia maksud mungkin sajak-sajak Goenawan Mohamad. Benarkah?
4. Karena tuduhan di butir ketiga tadi, maka Dadang lantas menyimpulkan bahwa tidak ada tempat lagi untuk "sajak protes" atau sajak lain selain "sajak lirik/sajak suasana".
5. Akibatnya dari butir ketiga dan keempat tadi, maka ada ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan apa? Saya tak tahu pasti, tapi Dadang berharap Majalah Gong bisa menjadi penyimbang itu. Mungkin ketidakseimbangan yang ia maksud adalah keragaman gaya-gaya sajak.
6. Di majalah yang sama Majalah Gong memuat tiga sajak Dadang. Sajak-sajaknya tertulis dipersembahkan untuk alrmarhum anaknya. Dan sajak-sajaknya bukanlah sajak-sajak protes! Kalau memakai tuduhan-tuduhannya di suratnya di atas, maka sajak-sajaknya tadi menurut saya adalah "sajak lirik" atau "sajak suasana" atau "sajak aliran goenawan" dan dengan demikian juga adalah "sajak gelap".
Ah anak muda, ah penyair muda, ah calon penyair, jangan gagaplah. Jadilah penulis esei yang baik - mulailah dengan menulis surat pembaca yang baik - dan mulailah berhitung risiko setelah Anda berani menyebut diri sebagai calon penyair atau penyair muda.
Hak cipta pada hasan aspahani
Sunday, April 22, 2007
Enam Diktum Goenawan
Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya
dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada
orang lain, pembacanya.
Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang
mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan
suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya
bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada
dalam komunikasi.
Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh
pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan
atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang
tidak pantas dihargai.
Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah
ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba
terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan
penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya
bagi dirinya sendiri.
Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja
membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak
adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi
dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi
percaya pada dirinya sendiri.
Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara
"kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan
"tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca",
tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.
* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi"
tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan
Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.
Monday, April 16, 2007
[Ruang Renung # 190] Mengisi Hidup, Menjaring Inspirasi
Apakah hidup yang rutin harus dilabrak agar inspirasi mengalir? Apakah penyair harus menjadi bengal agar dari kebengalan lakunya itu ia mendapatkan inspirasi? Atau penyair harus merenung sendiri, menyepi menjauh dari kehidupan? Apakah penyair harus menghindari keteraturan hidup? Apakah kemoratmaritan hidup adalah lahar subur bagi inspirasi?
Saya tidak bisa tidak kecuali setuju saja dengan apa yang dipaparkan oleh W.S. Rendra. Soalnya, kata beliau, bukan bagaimana mencari inspirasi itu, tapi bagaimana pengarang harus membuat hidupnya berisi, sehingga ia akan selalu kaya akan rangsangan-rangsangan untuk membuat karangan-karangan. "Ia harus selalu berhadapan dengan masalah," kata Rendra.
Ya, saya sepenuhnya setuju pada Tuan Rendra. Buatlah hidup kita berisi, dan kita harus senantitasa berhadapan dengan masalah. Itulah kuncinya. Kita tidak mencari masalah, sebab hidup toh selalu bermasalah. Menghadapi masalah, berarti menyadari bahwa masalah itu ada dalam hidup kita. Kita tidak perlu menghindarinya, kita tidak boleh mengabaikannya, kita jangan pura-pura melupakannya. Tapi kita juga tidak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah.
Ya, hadapilah masalah. Dengan gagah tapi tidak dengan pongah. Dengan begitu, hidup kita akan berisi. Terus-menerus terbaharui. Dari kehidupan yang penuh dan membaru itu, kita menjadi kaya dan rangsangan untuk membuat karangan: puisi-puisi dan kisah-kisah, terus mengada. Terus mengada, tapi tidak mengada-ada.
Wednesday, January 31, 2007
Kepaduan Teks Puisi (Koherensi) oleh Hasan aspahani
/1/
KEPADUAN teks puisi, juga yang bukan puisi, bisa ditilik dari kohesi dan koherensi pada teks tersebut. Yang pertama melihat kepaduan unsur-unsur di dalam teks itu sendiri, yang kedua melihat hubungan antara teks dengan faktor di luar teks tersebut. Sebuah teks tidak koheren apabila tidak ada keberterimaan dalam teks tersebut. Keberterimaan itu ditentukan oleh pengetahuan bersama (shared-knowledge) di luar teks yang disebut konteks bersama (shared-context). Ketika mengutak-atik koherensi di dalam puisinya, penyair benar-benar diuji.
/2/
Jika koherensi ini menjadi pertimbangan ketika menulis puisi, maka penyair sebenarnya adalah orang yang sadar dan pandai mengukur seberapa banyakkah pengetahuannya dan pengetahuan orang yang kelak membaca puisinya berada dalam wilayah "bersama". Penyair boleh sesekali merendah, tapi tidak harus selalu merendah, apalagi sampai menganggap pembacanya berpengetahuan miskin alias tak sekaya pengetahuan yang ia miliki. Wilayah pengetahuan bersama itu abstrak. Di situlah asyiknya puisi, yaitu ketika penyair mengepas-ngepaskan di mana letak puisinya di wilayah "pengetahuan bersama" itu.
/3/
Penyair seringkali menantang pembaca puisinya untuk masuk ke wilayah pengetahuan bersama yang ia tawarkan.
/4/
Tapi jangan terlalu asyik pada permainan koherensi itu saja. Ini permainan. Penyair boleh menciptakan sajak yang seakan-akan abai pada koherensi. Sesekali, ya sesekali, penyair boleh saja berakrobat kata-kata. Melompat keluar masuk dari wilayah "pengetahuan bersama". Sesekali, ya sesekali, apa salahnya berakrobat? Barangkali dari akrobat itu terpicu imajinasi yang lebih liar untuk sajak-sajaknya berikutnya. Tapi, jangan akrobat itu langsung disodorkan kepada pembaca, apalagi pembaca dipaksa untuk menerima itu sebagai sebuah keberhasilan atau penemuan pengucapan baru. Pada saat penyair menyodorkan hasil percobaan pengucapannya kepada pembaca dia mestinya sudah yakin bahwa memang ada sesuatu yang berharga untuk ditempatkan di wilayah bersama. Mungkin sesuatu yang baru itu makan waktu untuk diterima. Tak apa-apa.
/5/
Selain pengetahuan bersama, ada hal lain di luar bahasan linguistik yang khas pada puisi, yaitu wilayah perasaan yang sama. Tepatnya: serupa tapi tak sama, sebab tidak pernah ada perasaan yang persis sama. Penyair dalam sajak-sajaknya berusaha menggenerikkan perasaaannya yang khas. Bila upaya itu berhasil, maka pembaca kemudian bisa dan ikhlas mengidentikkan perasaannya yang juga khas kepada apa yang sudah digenerikkan oleh penyair itu.
/6/
Ketika menulis sajak "Pada Album Miguel De Covarobias" dan sajak "Untuk Frida Kahlo", saya kira penyair Goenawan Mohamad tidak mempertimbangkan apakah pembacanya tahu siapakah tokoh yang namanya ia jadikan judul itu sajak. Dia pasti tidak peduli apakah pengetahuannya itu berada di wilayah bersama dengan pengetahuan pembaca sajak-sajaknya. Saya sendiri yakin si penyair punya pengetahuan banyak tentang nama yang ia tulis.
Pasti ada yang memukau dari nama itu sehingga ia sajakkan. Covarobias adalah seorang traveler Meksiko yang menulis tentang buku Bali dan kemudian membuat
/7/
/8/
Soal manfaat sajak - dan karya sastra umumnya - sudah lama menjadi bahan kajian dan debat. Horatio menulis buku "Ars Poetica" pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah "dulce" atau nikmat, dan "utile" alias bermanfaat. Mana yang lebih penting antara keduanya? Itu menarik untuk dipermainkan. Kedua hal itu bisa pula ditarik ke ranah yang lebih luas. "Utile" berlanjut pada debat yang moralis, "dulce" bisa diseret ke ranah estetis. Sedang apakah manfaat dan apakah indah sendiri sudah bisa memancing sebuah debat panjang dan tak habis-habis. Saya kira penyair tak perlu terlalu pusing. Ia lebih baik menyibukkan diri dengan menerjemahkan apakah yang "dulce" dan "utile" itu dengan sajak-sajaknya.
/9/
Penyair Subagio Sastrowardoyo ada menulis sajak yang amat bagus tentang peran penyair dan tuntutan "utile" pada sajak-sajaknya. Sajak "Mata Penyair" itu dibuka dengan bait: //Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk
/10/
Sajak "Mata Penyair" Subagio Sastrowardoyo menggambarkan adegan rakyat miskin yang merangsak kemuka. Kami ingin matamu, kata rakyat miskin itu kepada penyair. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butur pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Tuntutan yang mencemaskan. Wajar jika penyair dalam sajak itu mencamtumkan pembelaan bahwa tanpa mata penyair menjadi buta. Tapi rakyat yang putus asa tak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya. "Dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya..." Tapi tak terjadi perubahan. Pasir tetap pasir bukan emas. Rakyat miskin kecewa dan merebut kedua bola mata itu dan melahapnya. Setelah itu? Juga tidak terjadi apa-apa.
/11/
Dari wilayah pengetahuan bersama, dari daerah kerisauan bersama, penyair memberangkatkan teks sajak-sajaknya. Dari wilayah itu pula datang tuntutan kepada penyair. Tak usah mengelak, tak perlu pula sok hebat melayani tuntutan itu seakan pasti kita bisa memenuhinya. Sebaiknya berperanlah sebagai penyair buta sebagaimana digambarkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya "Mata Penyair" tadi. Penyair telah menyerahkan matanya, memenuhi tuntutan "rakyat miskin". Tak terjadi apa-apa. Dan sajak itu lalu menggambarkan: "Penyair yang buta duduk di jendela dan tertawa menghadap
Bacaan:
1. Mohamad, Goenawan. "Misalkan Kita di Sarajevo". Cetakan Pertama, 1998.
2. Yuwono, Untung. "Wacana" dalam Kushartanti, Untung Yuwono, Multamania RMT Lauder (Editor). 2005. "Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik". Hal. 100-101.
3. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof. Dr. Dra. "Pengkajian Sastra". Hal. 78. 2005. Cetakan Pertama.
4. Sastrowardoyo, Subagio. "Dan Kematian Makin Akrab". Halaman 133. 1995.
Sunday, December 24, 2006
Sutardji: Antara Pesan dan Pengungkapan
Dari Hasan Aspahani (milis penyair, tgl 8sept 2006)
1. Puisi tentu saja boleh menampilkan suara zamannya, tetapi ia bukan budak zaman. Puisi selalu berdepan-depan dengan zaman. Penyair tidak tercakup atau tertunduk pada sejarah, malah ia mencipta sejarah.
2. Puisi tidak teraih hanya dengan sekadar menghiraukan pesan, isi, dan atau tema. Puisi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya, bila tidak, maka yang dihasilkan adalah puisi yang tidak menghiraukan puisi.
3. Puisi boleh diniatkan kosong dari tema atau tanpa pesan. Puisi yang demikian ini bisa jadi hanya berupa rangkulan akrab terhadap ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata. Tapi jika dibuat padu dan utuh, terkendali, menarik dan cantik serta unik, maka pembaca akan segera sibuk mencarikan pesan atau makna pada sajak itu.
4. Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apapun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil.
5. Puisi boleh dibuat seperti memotret kenyataan. Tapi puisi yang baik bukan potret yang datar. Ada nilai plus yang diharapkan bisa didapat ketika menatap atau membaca puisi potret tadi. Jika tidak maka pembaca tentu lebih suka menatap langsung pada kenyataan.
6. Cara mengungkap atau cara mengucap, adalah salah satu unsur penting mendapatkan nilai plus dalam sebuah sajak.
* Dari Perihal Sajak yang Tak Dimuat dalam buku Sutardji Calzoum Bachri Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.
Monday, December 18, 2006
Menyelidik Diksi
hasan aspahani <hasanaspahani@ yahoo.com>
[Ruang Renung # 169] Menyelidik Si Diksi
MUNGKIN berlebihan kalau dibilang kerja menyair pada intinya adalah mendiksi. Memilih kata yang tepat untuk mengucapkan sesuatu. Tema-tema sajak berulang dari satu penyair ke penyair. Selain menggarap tema-tema baru, bisakah kita menghindar dari tema cinta, maut,rindu, kesepian, ketidakadilan, atau ketuhanan? Bagaimana cara menyajakkan tema itu, itulah yang jadi taruhan keberhasilan sajak kita. Dengan kata lain bagaimana tema itu diucapkan. Dengan kata lain kata apa yang dipakai atau dipilih untuk mengucapkan tema
itu. Dengan kata lain: diksi.
BAGAIMANA kita bisa memilih kata kalau kita tidak punya pilihan yang banyak? Maka, perkayalah diri kira dengan kata, supaya leluasa memilih. Leluasa mendiksi. Tapi, jangan pula kita jadi orang kayakata yang sombong. Mentang-mentang punya banyak kata lalu sok mengumbar kata-kata di sembarang sajak biar dibilang hebat. Apalagi kalau kata-kata itu kita dapat dengan cara yang tidak bajik dan tidak baik. Apalagi kalau kita cuma sok memiliki kata itu padahal kata itu sendiri tak pernah merasa menjadi milik kita.
BUKANLAH itu maunya diksi. Diksi itu memilih. Sebelum kita memilih tentu kita harus akrab dulu dengan apa yang kita pilih. Supaya dia ikhlas dan mendukung niat pengucapan kita. Dengan kata lain mencari kata yang paling pas untuk dipakai pada waktu yang pas.
BAGAIMANA kalau kita mau mengucapkan dengan kata-kata sembarang saja? Kalau pengucapan dengan cara itu dilakukan dengan sadar, artinya memang menjadi pilihan di antara pengucapan-pengucap an lain yang kita punya, itupun diksi juga namanya, asal sembarang kata tadi tetap membuat pengucapan kita sampai juga pada niat sajak kita.
Kredo Sutardji
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
Kredo Puisi
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973.
Ikhwal penyair dan Ikhwal Sajak
Di dalam dunia yang cenderung tidak memiliki tradisi membaca dan
tidak cukup memahami makna puisi, maka status kepenyairan tidak
mungkin bergantung atau diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan
pandangan pembaca. Otoritas atas kepenyairan ada pada tangan penyair
itu sendiri, yaitu pada keadaan di mana seorang penyair dapat
menggali seluruh potensi yang dimilikinya untuk melahirkan dirinya
sendiri. Karena itu tidaklah mungkin seorang penyair lahir dari
sebuah situasi kekosongan.
Ia hanya mungkin lahir dari sebuah perenungan atau pemikiran yang
sublim. Dan bila pun kemudian ia terpaksa muncul dari sebuah situasi
kekosongan, ia tidak akan mungkin bertahan dalam keadaan sedemikian
rupa itu terus-menerus tanpa ada upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu yang mengungkung dirinya.
Seorang penyair harus mampu memberikan makna bagi dirinya sendiri
dan terutama bagi karya-karyanya, karena ia mengemban amanat besar
untuk mengkomunikasikan realitas psikologis maupun sosiologis dari
dirinya sendiri, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai
bagian dari masyarakatnya. Sebagai konsekuensinya, maka seorang
penyair harus mampu membebaskan kata-kata sebagai media utama dari
komunikasi verbal yang hendak ia nyatakan di dalam penulisan karya-
karya sajaknya itu. Baik dari kungkungan penjara ilusi yang berasal
dari luar dirinya sebagai hasil rekayasa kekuasaaan, maupun dari
keterbatasan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya seorang penyair harus
berusaha keras menjaga agar kata-kata di dalam sajak-sajaknya itu
mampu tampil sebagai sebuah bentuk komunikasi timbal balik antara
dirinya sendiri dengan masyarakat yang membaca karya-karyanya.
Sudah menjadi tugas seorang penyair untuk mengatasi keterbatasan
media di dalam penulisan puisinya dan sekaligus keterbatasan media
kata itu sendiri. Sajak harus menemukan pintu keluar dari kemampatan
ini, yaitu dari segenap kecurigaan yang telah merasuki kalangan para
penyair sendiri yang menyatakan bahwa selama ini kata telah mati dan
demikian pula dengan puisi. Penyair harus sampai pada kesadaran baru
untuk memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, bukan lagi
sebatas angan-angan, atau sekedar sebagai mimpi dan ilusi. Karena
ilusi atau mimpi sekalipun bila ia tampil di dalam sajak harus dapat
merepresentasikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang inspiratif dan
memberi nafas serta nuansa yang baru dalam khazanah sastra kita,
yaitu pembaharuan penulisan puisi yang bisa terlihat, terdengar serta
teraba getarannya. Sehingga mimpi itu kemudian dapat tampil sebagai
sebuah gambaran nyata dari realitas kehidupan.
Masuknya budaya visual lewat media elektronik dan grafis tidak
harus menggoyahkan otoritas kata sebagai media komunikasi verbal.
Disinilah sesungguhnya letak tantangan kreativitas yang terbesar yang
menanti para penyair, yaitu pada upaya bagaimana ia dapat menampilkan
puisi-puisi karyanya itu sehingga mampu eksis dan tetap bertahan
hidup di tengah serbuan kekuatan-kekuatan media komunikasi lainnya.
Sudah menjadi tugas utama para penyair untuk memberikan dan
mempertahankan kehidupan dan bukannya tunduk pada kekuatan kematian
atau tekanan kekuasaan manapun yang hendak mengkerdilkan makna dari
puisi itu sendiri.
2. Ikhwal Sajak
Kira-kira apa yang akan terjadi sekiranya kita memberikan nyawa pada
sebongkah batu? Maka batu itu pastilah akan menyerukan ke'diam'annya,
bahkan mungkin ia akan meneriakkan kebekuannya lebih nyaring daripada
apa yang sanggup di dengar oleh indera pendengaran kita. Dan
demikianlah seharusnya sajak menyuarakan dirinya sendiri. Tapi apa
yang sebenarnya telah terjadi pada sajak sejauh ini, dan bagaimana
pandangan orang terhadapnya?
Walau kata sebagai esensi utama dari sebuah sajak telah berhasil
keluar dari penjara kebuntuan leksikon, namun masih saja banyak di
antara kita seakan melupakan bahwa sajak bukanlah sekedar kata. Di
mana-mana terjadi situasi di mana sajak berhenti sebagai rangkaian
kata-kata dan kata berhenti hanya sebagai bunyi. Puisi di dalam sajak
kehilangan daya kekuatan magisnya untuk kembali menyuarakan dirinya
sendiri dengan lantang. Dengan semena-mena manusia memenggal esensi
puisi di dalam sajak, dan menjadikan orok sungsang itu lahir
prematur. Sementara di banyak tempat prosa semakin merajalela, dan
sajak kemudian semakin kehilangan identitasnya. Kini segala sesuatu
harus dibaca bersama massa; dalam konteksnya sebagai sebuah label
hibriditas tanda-tanda yang hampir-hampir tidak memiliki identitas
sama sekali.
Tapi sekali lagi sajak bukanlah sekedar kata, dan bila pun ia
kata ia bukanlah kata sekedar. Puisi bukan pula sekedar bunyi, karena
apalah makna bunyi kalau ia tidak mengekalkan arti? Pada mulanya
memang, puisi harus menjadi dirinya sendiri: sebuah lampu yang
memiliki fungsi untuk membuat segala sesuatu terlihat lebih jelas,
namun di sisi lain ia adalah bagian dari sebuah realitas, yaitu
keberadaannya di dalam ruang dan waktu. Ia hadir sebagai esensi dan
sekaligus sebagai pelengkap, sebagai subyek dan obyek sekaligus. Ia
adalah lampu di meja makan, ia adalah bangku di tengah taman. Dan
sebagai lampu atau bangku ia harus memiliki identitas agar ia
dikenali, karena ia tidak bisa berdiri begitu saja di tengah massa
yang mengacuhkan keberadaannya serupa keberadaan batu itu. Maka
sebagai batu sekalipun ia harus mengungkapkan dirinya. Apalah arti
batu bila hanya untuk disepak atau ditendang orang? Tapi siapa berani
menendang batu nisan di tengah kuburan? Bagaimana pula orang
memperlakukan sebuah batu mulia?
Otoritas kata di dalam sajak harus dikembalikan pada
fleksibilitasnya, yaitu pada kemampuannya untuk menyatakan dirinya
sendiri dalam bentuk apapun yang ia inginkan. Tidak saja secara
verbal di mana kata dapat bertransformasi atau bermetamorfosis sesuai
dengan yang ia kehendaki melainkan juga di dalam wujud visualnya
yaitu di dalam tipografinya, karena tipografi sebagai wadah atau
bentuk dari sebuah sajak berfungsi untuk menyampaikan apa yang
tersurat dari yang tersirat, ia dapat berfungsi sebagai salah satu
pintu menuju pada pengertian. Bahwa sajak tidak harus dijelaskan
melalui media lain selain dirinya sendiri, karena ia telah sanggup
mencukupi dirinya sendiri. Sajak harus dapat mengkomunikasikan
dirinya sendiri dan hadir sepenuhnya dengan identitasnya sendiri yang
mewakili seluruh keberadaan dirinya secara utuh dan konkret.
Dengan demikian maka sajak-sajak akan tampil dengan lebih
komunikatif dan jauh lebih atraktif serta menemukan tempat berpijak
yang kokoh untuk bersaing dengan media komunikasi lainnya. Sajak
tidak akan berhenti sebagai sebuah bacaan semata. Sejauh ini ia telah
disuarakan dan didengar. Sudah tiba pula saatnya agar ia dapat
dilihat dan kalau perlu bisa disentuh dalam wujudnya sebagai simbol-
simbol atau tanda-tanda yang merepresentasikan keberadaan dirinya
sendiri, yaitu dalam bentuk tipografi-tipografi nya yang paling
konkret yang merupakan bagian ekspresif dari sajak yang tidak sekedar
mengusung bentuk tapi juga harus memiliki maksud tertentu. Sudah
seharusnya tipografi sajak menjadi sebuah tanda lahir, sebuah jejak
yang diterakan sendiri oleh tangan sang penyair.
Selanjutnya, apabila kata tersebut kemudian mengalami
metamorfosis di dalam sajak dan menjelma menjadi seorang manusia maka
ia harus seutuhnya manusia, ia bukan sekedar mata kanan atau mata
kiri, bukan pula tangan kanan atau tangan kiri. Karena ia bukan sapi,
kelinci, kucing atau anjing. Ia harus memiliki identitas, dan
identitasnya itu adalah dirinya sendiri; wujud sajak sebagai cerminan
terdalam dari apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ia harus mampu
menyatakan dirinya. Ia harus menjadikan dirinya sendiri berarti. Agar
dengan demikian ia pantas untuk hadir dan dihargai, agar kemudian ia
pantas pula untuk menikmati eksistensi dari kehidupannya sebagai
bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Inilah tujuan utama
kehadiran sebuah sajak, bukan sekedar untuk merayakan kepedihan, atau
mengungkapkan rasa sekedar. Ia harus sanggup memberikan kehidupan dan
tempat yang seluas-luasnya bagi kreativitas. Sebagaimana batu hidup
bersama waktu dan menjeritkan kebisuannya. Sebagaimana waktu hidup
dan berdetak di tengah kita bersama keberadaan kata-kata.
Titon Rahmawan